21. KEMBALI (2)

6 1 0
                                    

Terdengar suara helaan napas di seberang sana. Sungguh, Derren merasa lega sekarang. Bukan dengan maksud mengabaikan kepergian ayahnya, tetapi Derren harus jujur kalau sekarang tali yang mengikatnya begitu erat, sudah terlepas.

Bahkan saat mengatakan hal itu pada sang ibu setelah pemakaman, ibunya tidak sedih atau sakit hati. Dia sangat paham apa yang dirasakan putranya selama ini.

"Zee, tolong dengerin semua penjelasan saya sampai selesai. Bisa?"

Suara itu yang sekian waktu lamanya sangat dirindukan Zee. Begitu menenangkan dan andai Derren tidak pergi, insomnia-nya tidak akan kambuh lagi, setelah orang tuanya resmi bercerai.

"Saya minta maaf, dan sungguh ikut bersedih karena perceraian orang tua kamu. Kamu baik-baik saja, sekarang?"

Tentu saja enggak, Kak. Susah tidur, gila belajar, dan sempat nyaris gila kalau saja Meta nggak bantu. Semua kalimat itu berhenti di ujung bibir.

"Iya. Aku baik, Kak. Masih bisa bertahan sampai detik ini. Yang pasti bernapas pun aku syukuri sekarang."

Derren menahan bibirnya untuk menyela. Tangannya yang bebas mengepal di samping tubuh. Rasa bersalah dan marah muncul dan mulai menguasai Derren. Ada sesuatu sudah terjadi selain perceraian, dan Zee sembunyikan itu.

"Jangan mikir macam-macam, Kak. Aku nggak berbuat apa pun, cuma luka dikit."

Waktu orang tuanya resmi bercerai, Zee hilang arah. Meskipun sebelum itu sudah banyak yang berubah, tetapi saat semua benar-benar terjadi Zee merasa dunianya hancur. Pelajaran mendadak sulit dia pahami, apalagi mendekati ujian masih banyak latihan soal yang harus dia kerjakan. Kehilangan tujuan hidup, kehilangan semangat untuk menghadapi hari, menerjang Zee bertubi-tubi.

Puncaknya saat dia pulang sekolah, pemandangan Brian saat pergi dari rumah terlintas kembali. Zarra tampak berat melepas, tetapi semua sudah terlambat. Karena hal ini yang diinginkan Brian, tidak ada ekspresi sedih atau menyayangkan harus berpisah. Justru dia lega bisa meninggalkan Zee dan mamanya.

Semua terjadi sangat cepat bahkan Zee tidak sempat berteriak. Tubuhnya sudah terhantam batang pohon yang ada di pinggir jalan. Dia langsung hilang kesadaran saat itu. Dan saat terbangun dia sudah di rumah sakit.

"Zee, kamu masih mau kita lanjut, kan? Maksud saya tentang hubungan kita."

"Tapi Zee mau pergi ke Inggris." Untuk apa disembunyikan? Zee berpikir Derren lebih baik tahu sekarang. Jadi dia bisa berpikir ulang untuk menetap di sana atau tetap balik tetapi mereka bakal LDR-an.

"Apa??" Derren tidak pernah tahu Zee punya mimpi atau bahkan hanya keinginan seperti ini. Melanjutkan sekolah ke luar, apa yang membuatnya berpikir melakukan hal itu.

"Zee lolos seleksi bea siswa kesana, Kak. Tinggal menunggu surat-surat penting yang diurus Mama."

"Ok. Kapan kamu berangkat?" Kesempatan ini tidak akan Derren lewatkan. Zee berhak mengejar mimpi, masa depannya masih panjang. Dan dia sadar sepenuhnya banyak kesempatan yang harus Zee manfaatkan dengan baik.

"Kenapa, Kak? Bukannya Kak Derren seharusnya di sana? Masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum empat puluh hari, kan?"

"Zee, ayolah!" Derren benar-benar sudah memasrahkan semua pengajian dan semua hal yang harus dilakukan ke ibu dan adik-adiknya.

"Kak, lebih baik Kak Derren tetap di sana."

"Enggak! Saya bisa berdoa di mana pun itu, Zee. Nggak harus tetap di sini. Ayolah, Zee, saya terlalu lelah kalo harus debat." Derren terus mengejar jawaban dari kekasihnya itu. Demi kelanjutan hubungannya Derren akan mementingkan itu.

Tak lama setelah telepon ditutup, Derren mengemas beberapa barang. Dia akan berangkat hari ini juga, dan akan mengadakan tahlil juga.

Sarah yang masih tinggal di rumah Derren dengan alasan mau ikut mengurus semua keperluan pengajian hingga tujuh hari.

"Bu, semua sudah Derren urus. Biaya juga sudah dipegang sama Ibu, kan. Nggak perlu lagi bantuan orang lain."

"Tapi aku calon menantu keluarga ini. Sudah sewajarnya aku tinggal dan ikut urus."

Wajah Derren berubah kaku, jelas sekali dia tidak suka Sarah membahas itu lagi.

"Sudah aku bilang kita sudah berakhir, Sar. Bahkan aku nggak memulai apa pun. Sebelum jadi pergunjingan sebaiknya kamu pulang. Terima kasih sudah datang dan bantu tadi. Setelah ini jangan terlalu sering ke rumah. Please!"

Sarah masih bertahan. Dia sangat mencintai Derren, dan tidak ingin pertunangan batal.

"Sar, kamu cari cowok yang cinta sama kamu."

"Tapi maunya kamu, nggak mau cowok lain."

Derren terdiam. Sarah tidak semudah itu dihadapi. Derren mengalah, dia yang pergi lebih dulu. Biarkan ibu dan adik-adik yang menyuruhnya pulang. Derren pastikan dengan sang ibu kalau dia akan tetap mengirim doa hingga tahlil hari ke tiga.

Tak ada jalan lain, ibunya Derren yang bertindak. Dia minta Sarah untuk pulang saja. Silakan datang hanya untuk pengajian, tapi tidak menginap. Beliau pastikan lagi kalau pertunangan tidak jadi, sudah jelas Derren yang memutuskan. Sebagai Ibu hanya memahami dan mendukung apa pun keputusan Derren.

Tidak ada yang bisa melawan ibu, perkataannya jadi perintah mutlak untuk semua anaknya. Sarah tidak mungkin berani melawan.

"Makasih, Bu. Derren berangkat."

"Ya, kabari kalo sudah sampai."

Derren siap membuka hari baru. Berkorban dan mengalah sudah cukup dia lakukan. Waktunya untuk menentukan langkah kaki.

Zee, tunggu saya.

Kini ada tujuan baru dalam hidup Derren selain membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Dia akan lakukan apa pun untuk Zee juga.

***

Tidur Zee terganggu dengan suara alarm ponsel yang ditaruh di meja belajar.

Semalam dia begadang. Kegiatan baru sambil menunggu ijazah SMA dan keberangkatan, Zee habiskan waktu untuk baca buku.

Belum sepenuhnya sadar, bahkan kantuk masih bergelayut, Zee dikejutkan dengan ketukan di jendela.

Bersambung

Zee, masih bisa nunggu, kan. Kasihan Derren kalo belum sempat ketemu.

Thank you for reading. See you on the next part.

I Love You, Derren (END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora