11. Kandas di Tengah Jalan

7.8K 617 209
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen.

Kalau kalian emang suka sama cerita ini, tolong komen yang banyak ya. Kalau bisa, komen di setiap paragraf dan komen mengenai isi ceritanya, bukan cuma next doang. Makasih banyak guys.

Happy reading💜
_____________________________________________

Haura mengedarkan pandangan ke sekitar, menatap betapa besarnya apartemen milik Ares. Apartemennya memang besar, namun sayangnya yang tinggal di apartemen ini hanya Ares dan dirinya saja. Jujur, Haura penasaran mengapa Ares tidak mau tinggal di rumah orang tuanya. Namun ia merasa segan untuk bertanya.

Seharian berada di apartemen membuat Haura bosan, tak ada teman mengobrol, pun tak ada satu pun orang yang bisa ia ajak mengobrol. Entah ke mana Ares pergi, Haura sendiri tidak tahu karena lelaki itu tak mengatakan apa-apa.

"Beres-beres udah, terus ngapain lagi ya? Bosen banget sendirian begini," gumam Haura sembari mencebikkan bibirnya.

Tak lama kemudian suara deringan ponsel mengambil alih perhatian Haura. Ia mengambil ponsel yang berada di atas meja kemudian segera mengangkat panggilan tersebut saat nama 'Bunda' tertera di layar ponsel.

"Assalamu'alaikum," salam Adzana dari seberang telepon.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Haura.

"Udah sampai di apartemennya Ares, Nak?"

"Alhamdulillah sudah, Bun. Baru aja sampai."

"Gimana? Enak nggak tinggal di situ?" Adzana terus bertanya demikian lantaran ia penasaran dengan apa yang dirasakan oleh putrinya saat pertama kali tinggal di tempat baru.

Haura menghela napas berat. "Masih butuh penyesuaian karena belum terbiasa." Ia menatap ke sekelilingnya lagi. "Rasanya aneh, di sini sepi banget, Bun. Cuma ada Haura sama Mas Ares."

Mendengar perkataan Haura barusan, Adzana terkekeh kecil. "Makanya cepet kasih Bunda cucu, supaya kamu sama Ares nggak kesepian lagi."

"Bunda ini."

"Loh kenapa? Bener kan yang Bunda bilang? Kalau kamu udah punya anak, dijamin nggak bakal kesepian." Jeda beberapa detik sampai akhirnya Adzana kembali berucap, "Jangan ditunda-tunda punya anaknya, Bunda udah nggak sabar pengen gendong cucu."

"Iya, Bunda. Nggak ditunda kok," ujar Haura. Tapi gimana Haura mau punya anak cepet, Mas Ares aja belum nyentuh Haura. Kami belum melakukan hubungan suami istri, Bun, lanjutnya dalam hati.

"Ditunggu banget kabar baiknya. Udah dulu ya, Haura. Ayah manggil Bunda. Kalau ada apa-apa telpon Bunda aja, jangan sampai lupain Bunda."

"Iya, Bun. Haura nggak bakal lupain Bunda. Haura juga bakal sering telpon Bunda."

"Alhamdulillah, Bunda seneng dengernya. Kalau gitu, telponnya Bunda tutup sekarang. Assalamu'alaikum," ucap Adzana.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Setelah panggilan dari sang bunda sudah berakhir, Haura termenung untuk beberapa saat.

"Kalau bukan kemarin malam, kan bisa malam ini. Kira-kira Mas Ares mau nggak ya?" Lagi dan lagi Haura terus saja bermonolog. "Kayaknya mau deh."

"Eh tunggu, masa aku yang minta? Gengsi dong." Entah kenapa ia tak bisa menemukan jalan keluar dari permasalahan yang tengah ia alami. Mengirim pesan ke Ares pun percuma, jawabannya begitu singkat, pun Ares terlalu sering mengabaikan pesannya.

****

Saat jam telah menunjukkan pukul 11 malam, Haura masuk ke ruang kerja Ares karena lelaki itu tak kunjung selesai melakukan pekerjaannya di depan laptop, padahal sejak tadi Haura sudah menunggu di kamar. Menunggu dengan sangat sabar meski hasilnya nihil.

Imam untuk Haura (New Version)Where stories live. Discover now