15. Jangan Berkelit Kalau Benci Rumit

99 25 1
                                    

Katamu dulu kau takkan meninggalkanku. Omong kosong belaka! Sekarang yang masih tinggal hanyalah bulan yang bersinar juga malam itu dan kini muncul kembali.

Kiyesa tidak pernah merasa benar-benar terluka hanya karena sepenggal kutipan kalimat yang ia baca. Perasaannya yang berubah jadi serentan ini atau Hujan Bulan Juni yang dirakit begitu dalam sampai membekas jejaknya dengan rintik sendu yang turut menyertai?

Klaristha baik—baik sekali malah. Tapi ada bagian kecil dimana Kiyesa justru merasa sedikit menyesal sebab gadis berdarah biru itu mudah sekali melepas harta karun yang ia cari hampir ke seantero bumi. Satu, mungkin Kiyesa sebegitu berat hatinya menunaikan persyaratan Klaristha sebagai tebusan atas murah hatinya. Dua, mungkin Kiyesa mengesampingkan cecar protes hatinya. Apa ya namanya? Cemburu? Bukan, itu bukan kata yang tepat untuk menjabarkan rumit hatinya saat ini. Intinya, Kiyesa keberatan—itu saja.

Hujan Bulan Juni ia gemari dengan sangat, sebanyak ia menggemari Britney Spears. Sayangnya, tiada rasa bahagia yang sampai menyentuh hatinya selain sendu yang tak bisa ditolerir. Terlebih setiap kali netranya tidak sengaja menjumpai kamera milik Klaristha teronggok di atas meja. Besar tanggung-jawab yang menggelayut di pundaknya sampai menghambat arus perasaannya.

Hampir pecah kepalanya didesak keadaan. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil peran wanita sejati yang tidak gentar dengan suatu tanggung-jawab. Anggap saja ini pengorbanan. Kalau Hujan Bulan Juni tidak sebernilai itu untuk Klaristha, maka Kiyesa menganggap dengan teori yang sebaliknya.

"...jangan sungkan ya, datang semau kamu, oke?"

"Siap, laksanakan!"

Hampir menyaingi ajaibnya panggilan rohani, Kiyesa bangkit, meraih seonggok kamera yang seharusnya ia perlakukan dengan penuh kasih sayang kalau tidak ingin didorong masuk ke neraka hanya karena lecetnya si kamera. Lupa gadis itu bertindak dengan kehati-hatian. Beruntungnya semesta sedang tidak menyiksa salah satu manusianya yang tukang ceroboh ini dengan cara menguras habis isi dompetnya.

Benar, itu Sayudha. Kelihatannya sibuk beramah-tamah menyedekahkan manis lesung di pipinya. Dari balik dinding rumahnya, tangannya terulur mengambil jepretan pertama tanpa bidik matanya. Sampai sini saja dia bisa berkorban, kalau sampai menampakkan presensi, bunuh diri namanya. 

Manakala Sayudha merasakan tersembunyinya sesuatu yang diutus untuk mengamati tingkah lakunya, dia menoleh berbarengan dengan Kiyesa yang berkelit masuk ke dalam rumah. Si gadis erat memejamkan matanya. Meromantisasi degup jantungnya yang bukan main gilanya. Ketidaksanggupannya diutarakan lewat desis gusar mulutnya. Bendera putih dikibarkan lebih cepat dari perkiraan.

"Nggak bisa, ini terlalu beresiko," Kepalanya menggeleng, "Nggak tahu malu namanya kalau aku terus terang bilang tentang keadaanku sementara jepret dia diam-diam kayak gini juga bukan tindakan yang dibenarkan. Ini bisa jadi kejahatan. Kalau gitu, nggak usah aku lanjutin dengan alasan melanggar hukum dan privasi, iya kan?"

Main kotor? Bukan, itu namanya insting manusia. Anggapnya begitu tanpa tahu bahwa tingkahnya saat ini adalah sebuah tameng pembenaran untuk berkelit dari rumit yang ia rakit sendiri.

"Lagian aku juga nggak tahu caranya pakai kam..."

Monolognya tidak tertuntaskan ketika mahakarya di percobaan pertamanya terkesan seperti segaris pelangi di langit kelam. Cantik rupanya, menyentuh rasa. Sepintas, Kiyesa membeku. Perlu beberapa sekon untuk berteori, dirinya kah yang memang terlahir dengan jiwa-jiwa tukang potret kamera atau objeknya yang terlampau memukau mata? Hanya Sayudha yang dikelilingi petak perumahan sederhana, itupun diambil dengan ketidaksiapan si objek foto, lantas mengapa hasilnya sebegini sempurnanya? Hanya karena dia Sayudha? Manusia yang pandai berlakon dengan tanpa cacat?

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now