28. Satu Gigit Mochi Pahit

81 10 8
                                    

Bulatan gembul di pinggir jalan—dia yang mirip permen kapas—sedikit menarik dimata Sayudha yang baru saja turun dari bus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bulatan gembul di pinggir jalan—dia yang mirip permen kapas—sedikit menarik dimata Sayudha yang baru saja turun dari bus. Kebetulannya, cuma dia satu-satunya manusia yang beranjak dari dalam sana ketika rem menjerit ngeri dan busnya menepi.

Sadar tidakkah makhluk ini bahwa balut piyamanya dipukul 4 sore, surainya yang digerai asal-asalan berikut seekor kucing yang tidak pantas menyaingi gemasnya ia, menjadi objek yang paling banyak dihujani tatap mata oleh manusia-manusia lain yang berlalu-lalang?

Sayudha baru akan menegur ketika si manusia serupa permen kapas ini mengangkat kepalanya, menyambut kepulangannya dengan letup ceria pada segaris senyumnya.

"Udah sampai?"

"Tadinya aku pikir kamu orang gembel."

Menyandang predikat sebagai nona pemilik hati seorang Sayudha rupanya tidak menjadikannya sebuah pengecualian sebagai target pedas lisannya. Lalu begitu saja, senyum cerah yang susah-susah diukir Kiyesa, sirna tak berbekas.

"Cuma kamu didunia ini yang manggil pacarnya orang gembel."

Sayudha ikut menekuk lutut, bergabung membelai kucing gembul yang tengah mengendus jemari kaki Kiyesa. Kiranya mungkin potongan tulang-tulang yang mampu ia lahap sebab perutnya keroncongan.

"Kamu suka kucing?" Kiyesa belum mendengar perihal binatang apa yang digemari Sayudha, namun coba dengar apa jawabannya.

"Aku suka kamu."

Oh, menyebalkan sekali! Bukan jawab manis seperti itu yang dinantikan Kiyesa. Kendati begitu, terlepas dari matanya yang membulat dan ritme jantungnya yang meningkat, Kiyesa suka. Pada apa yang barusan diudarakan Sayudha dan pada Sayudha yang rajin memberi serangan jantung tiba-tiba begitu.

"Kamu udah makan siang?"

Kiyesa menunduk manakala berisik perutnya boleh diadu dengan keroncong perut si kucing. Kepalanya menggeleng pelan dibarengi dengan mendaratnya jemari milik Sayudha di pergelangan tangannya. Kucing gembul yang malang mendadak ditelantarkan sebab manusia-manusia yang semula mengunjunginya, sedang sibuk berkonversasi rasa.

Sayudha dan buntalan jaket hitam dari ranselnya menjadi alasan mengapa Kiyesa mengerutkan kening saat ini. Betul terkaannya sebab si pemuda semampai ini nyata memberikan jaketnya pada Kiyesa. Mulutnya baru akan melempar tanda tanya dikala Sayudha lebih dulu menyahuti tanpa susah-susah membiarkan gadisnya berkicau.

"Banyak angin, kamu juga belum makan. Kalau sakit, dan jarang keluar rumah, kamu mau tanggung jawab sama kangenku?"

Ada apa gerangan dengan lisannya Sayudha? Sebegitu merasa bersalahnya ia sebab menyebut Kiyesa serupa orang gembel sampai-sampai dia merasa dosanya itu mesti ditebus lewat manis katanya atau bagaimana?

"Kamu salah makan?" Bukannya anti romantis, hanya saja lingkup atmosfer saat ini terasa begitu sungguh-sungguh. Apa yang baru saja terlontar dari Sayudha kedengarannya bukan sebatas candaan. Hampir sama seriusnya dengan seorang mempelai pria yang resmi mempersunting puannya.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now