🍬 Chapter One 🍬

31 12 26
                                    

"Terkutuklah untuk teman-teman sekelas yang memiliki jadwal piket hari Jum'at." Kalimat yang selalu digumamkan oleh seorang gadis berperawakan tinggi dan ramping. Rambutnya yang panjang itu sudah terlihat sedikit lepek akibat berkeringat. Sungguh, jika gadis itu adalah Ibu Malin Kundang, ia akan mengutuk kelima teman sekelasnya yang jadwal piket hari ini menjadi belalang.

Kelas yang sangat berantakan, terletak di lantai dua, dan suasana kelas terasa sepi serta mencekam. Gadis itu segera mengumpulkan sampah yang telah selesai disapu dan membuangnya ke tempat sampah di dekat tangga.

"Chlora, hari Senin pagi, lo harus bantu gue minta pertanggungjawaban mereka atas kelicikan hari ini," geram Aiyla Valery, gadis yang terus mengutuk teman-temannya itu. Setelah membuang sampah tadi, ia langsung membuka suara dengan nada yang kesal.

Chlora Hierna, teman sekelas yang satu piket dengannya hari ini. Ia menjawab, "Tapi, Ai. Lo emangnya berani? Secara ...."

"Gue berani aja kalau masalah begini," potong Aiyla tegas. Tak tersirat nada ragu di dalam ucapannya.

Chlora meletakkan penghapus papan ke tempat semula dan mulai menyandang ranselnya. Pekerjaannya telah selesai. Aiyla juga menyampirkan tasnya di bahu, lalu melemparkan secara asal sapu ke pojok kelas.

Setelah merasa tidak ada barang yang tertinggal, Aiyla dan Chlora turun bersama-sama dari lantai dua menuju gerbang sekolah. Walaupun mereka tidak memiliki hubungan teman dekat, mereka berdua tetap pulang bersama walaupun juga hanya sampai gerbang sekolah. Setelahnya, Chlora pamit pulang terlebih dahulu kepada Aiyla karena ayahnya sudah datang untuk menjemput. Sementara Aiyla melangkahkan kakinya menuju halte yang tak jauh dari gerbang sekolah.

Gadis berambut panjang itu mengorek saku rok dan saku seragamnya untuk mencari lembaran uang. Namun, ia tidak menemukan satu lembar pun. Raut wajahnya langsung berubah panik, ia duduk di kursi halte dan mengobrak-abrik isi tasnya. Tidak ada. Oh, dear. Pikiran Aiyla langsung diisi oleh pikiran negatif.

"Bagaimana caranya gue pulang?" gumam Aiyla sambil menoleh ke kiri dan kanan. Berharap bisa menemukan teman yang ia kenal untuk bisa meminjam uang. Kalau uang tidak ada, ia tidak akan bisa pulang. Pilihan untuk meminta jemput oleh orang di rumah, tidak akan bisa karena ibunya masih bekerja dan kakak laki-lakinya sedang mengerjakan tugas.

Aiyla terus melihat sekelilingnya dengan raut wajah yang ketakutan hingga tangannya bergemetar. Ingin rasanya menangis memikirkan nasibnya yang sungguh sial hari ini. Namun, tidak mungkin menangis di halte siang bolong begini. Ia pun memejamkan mata dan berdoa kepada-Nya untuk menunjukkan jalan keluar agar ia bisa pulang secepatnya.

Saat Aiyla membuka kembali matanya, ia mendapati seseorang dengan kendaraan bermotor sedang berhenti di trotoar tak jauh dari halte tempatnya berdiri. Ia berpikir mungkin itu adalah jawaban dari doa dan niat yang tulus untuk bisa pulang ke rumah. Dia mendekati laki-laki bermotor itu dengan perasaan yang gugup dan ragu. Namun, mengingat itu demi dirinya bisa pulang ke rumah, akan dilakukannya dengan usaha berani.

Aiyla berhenti di tempat. Dia harus menyusun rencana dulu agar tidak dikira sedang berpura-pura atau berbohong. Aiyla tidak tahu nanti bagaimana reaksi laki-laki itu saat dia memohon untuk dibantu.

Setelah beberapa menit berpikir, hanya satu ide yang terlintas di pikirannya, yaitu memohon kepada laki-laki itu untuk memberinya selembar uang berwarna abu-abu untuk ongkos pulang. Hanya itu dan jumlahnya juga sedikit.

Aiyla melangkahkan kakinya dengan hati-hati dan saat tiba di samping si pengendara, ia memberikan salam terlebih dahulu.

"Permisi, Bang."

Mendengar ada orang yang memanggilnya, si pengendara langsung menoleh dari layar ponsel ke sosok gadis sekolah yang menunjukkan raut wajah yang tidak bisa di tebak. Alisnya tertaut karena merasa bingung dengan keberadaan gadis itu. Namun, netra hitamnya tak sengaja melihat ada bangunan sekolah tak jauh dari ia berhenti. Seolah mengerti siapa gadis di hadapannya, ia mengangguk sangat pelan.

Together or Separate Where stories live. Discover now