7. Suster yang Mencekam

239 84 14
                                    

Spoiler Alert: The Nun II
***

Arshi mengkerut di kursinya saat Suster Irene berada di gang sempit dengan halaman-halaman majalah yang terbuka, seolah dimainkan angin kencang. Ia sudah bisa menduga apa yang akan terjadi berikutnya, namun tetap saja adegan tersebut terasa begitu lama diulur, hingga alih-alih tegang, Arshi justru merasa cemas. Rasa gelisah yang cukup mengusik mentalnya. Ia lirik Mas Eri tampak fokus pada layar lebar, sehingga Arshi harus lebih hati-hati agar tidak mengganggu. Ditariknya kerah cardigan dengan satu tangan untuk menutupi wajah, sebab sejak film dimulai tadi sebelah tangannya terus-menerus tertaut pada jemari Mas Eri.

Tepat sebelum hantu Valak muncul dari potongan-potongan halaman majalah yang tersusun menjadi satu kolase besar, sebuah tangan lebar terulur tepat di depan mata Arshi. Ia refleks menggenggam tangan tersebut kuat-kuat agar tidak melompat dari kursinya. Sayup-sayup terdengar kekehan lirih dari sebelah. Wajah Mas Eri mendekat padanya lalu berbisik di telinga.

Maaf ya, sudah bikin kamu ketakutan.”

Nggak apa-apa, kok,” cicit Arshi lirih. “Saya emang penakut.”

Mas Eri melepaskan genggaman tangannya yang mulai terasa kebas lalu mengubah posisi duduk. Kini, sebelah tangannya dilingkarkan di pundak Arshi, lalu kepala Arshi berlabuh di pundaknya.

Kalau gini gimana?”

Arshi semakin mengkerut dipeluk begitu, namun ketika tiba di bagian yang menegangkan lagi, ia refleks berlabuh ke dada bidang Mas Eri, membenamkan wajah di ototnya yang keras.

Ini bukan kali pertama Arshi dipeluk pria lain, namun biasanya Arshi selalu was-was karena takut diapa-apain. Kali ini, tangan Mas Eri terpaku di pundaknya, tidak bergeser ke bagian tubuh lain dan tidak menyentuhnya lebih jauh dari menempelkan tangannya yang besar dan hangat itu. Mungkin karena dia seorang dokter, jadi Mas Eri bisa lebih memahami tentang consent, atau memang dia saja yang seperti itu.

Arshi sedikit bersyukur dalam hati karena ia tidak memakai makeup berlebihan hari ini. Hanya cushion dan translucent powder agar produk cushion-nya set, lalu menjepit bulu mata dan memulas eyeliner tipis. Bibirnya juga hanya pakai lip gel agar terlihat tidak pucat dan lebih segar.

“Maaf, Dok,” desis Arshi.

Hm?” getaran suara Mas Eri beresonansi hingga ke dadanya, sehingga Arshi seolah bisa mendengar gema di telinga.

Arshi membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, namun ada penampakan manusia berkaki kambing yang menghantui anak-anak sekolah asrama yang membuatnya mengurungkan niat. Sepanjang sepertiga akhir film, Arshi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersembunyi di balik tubuh Mas Eri. Kini ia mengerti mengapa pasangan yang berpacaran suka sekali menonton film horor, meski saat ini dia tidak datang dengan pacarnya.

Tepat sebelum lampu-lampu bioskop mulai dinyalakan, Arshi memisahkan diri dari dekapan Mas Eri. Hampir semua orang masih duduk di dalam ketika credit scene bergulir, hingga membuat Arshi dan Mas Eri pun enggan beranjak. 

“Serem banget, ya?” tanya Mas Eri. Tangannya terjulur, merapikan anak-anak rambut di kening Arshi yang berserakan. “Sampai gemetaran gitu badannya.”

Salah satu faktor yang mendasar Arshi hingga gemetar seperti itu adalah ia belum makan apa-apa sejak pagi selain mie ayam sore tadi dengan Alka. Arshi memang sering lupa makan, meski memiliki hipoglikemia. Bukan karena disengaja, tetapi sebab Arshi lumayan pemilih soal makanan. Jika Bunda memasak menu dengan kuah santan, bisa dipastikan Arshi akan mogok makan hingga malam. Ia tak pernah protes atau mengolok masakan Bunda di hadapan beliau langsung, hanya menolak makan. Jika tidak malas, Arshi biasanya menggoreng satu atau dua potong tahu untuk dimakan dengan nasi, atau membuat telur ceplok. Tetapi, seharian ini Arshi ada kerjaan meski kemudian ia sibuk berbalas pesan dengan Mas Eri, jadi dia lupa makan. Untung saja, Alka yang hafal kebiasaan kakaknya menawari jajan mie ayam, sehingga perut Arshi jadi terisi sedikit. Jika tidak, mungkin dia tidak akan bisa sampai di mal ini dan menonton The Nun II.

“Oh, enggak kok,” sergah Arshi.

Layar di hadapan mereka tiba-tiba menampilkan potongan post credit scene di mana Ed dan Lorraine Warren menerima sebuah panggilan telepon. Arshi mungkin tidak terlalu mengikuti saga film ini, tetapi Ed dan Lorraine memang sudah sebegitu terkenalnya hingga orang-orang di luar kalangan penggemar mereka sampai kenal. Arshi mematung, terpukau melihat keterkaitan antara film ini dengan seri pendahulunya, sambil mengingat-ingat jalan cerita film ini dibandingkan The Nun yang pertama. Rasanya, keberadaan Mas Eri di sebelah Arshi seolah membuat dia lupa film.yang barusan ditonton.

Damn, Frenchie,” umpat Mas Eri. Arshi bingung mengapa Mas Eri bereaksi demikian. Namun, belum sempat ia bertanya, Mas Eri sudah menjelaskan terlebih dahulu. “Jadi ternyata si Frenchie ini masih belum bersih ruqyah-nya, makanya Ed sama Lorraine dapat telepon itu.”

“Ooh …” Arshi menyeringai, tidak tahu harus bereaksi apa. Mas Eri menatapnya lekat lalu mengulurkan tangan.

“Ayo cari makan dulu.”

Arshi tergeragap, “Dokter bukannya ada shift malam?”

“Masih bisa kalau buat makan sebentar. Ayo! Waktuku nggak banyak.”

Arshi dengan terpaksa menerima uluran tangan tersebut lalu menggenggamnya. Sepanjang rute keluar studio bioskop, mereka berjalan bergandengan tangan. Mas Eri sempat melepaskan genggaman pada tangan Arshi demi membukakan pintu bioskop untuknya, lalu mereka kembali bergandengan. Beberapa pasang mata sempat tertuju pada Arshi saat mereka berada di eskalator turun ke lantai dua. Mungkin terpukau pada ketampanan Mas Eri atau memang sirik bagaimana bisa seseorang yang biasa seperti Arshi bisa menggandeng pria tampan tersebut.

“Mau makan apa? Makanan Jepang? Korea? Eropa? Atau Indonesia?”

Arshi paling tidak bisa jika disuruh memilih seperti ini, jadi ia menyerahkan keputusan tersebut di tangan Mas Eri sepenuhnya. “Dokter sendiri penginnya apa?”

“Hmm, Jepang deh, ya?” gumam Mas Eri setelah berpikir sejenak. “Mau ramen atau sushi?”

“Ramen aja,” jawab Arshi cepat. Mendengar respons tersebut, Mas Eri memicingkan mata.

“Jangan bilang kamu nggak bisa makan ikan mentah?” Arshi hanya mengangkat bahu. Mas Eri mendengkus geli melihat responsnya. “Telur setengah matang mau, kan? Soalnya ramen sering ada condiment ajitsuke tamago yang tengahnya runny gitu.”

Wajah Arshi pias mendengar pertanyaan tersebut. “Boleh minta enggak pakai, kan?”

Mas Eri kembali tergelak, “Ya udah, nanti pindahin aja ke mangkukku semisal ada. Ada lagi pantangan yang lain?”

“Uh … yang halal?”

“Itu sih nggak usah khawatir, karena aku juga pasti bakal cari yang halal, kok.” Mas Eri mengernyitkan kening, menatap Arshi penuh curiga. “Emangnya kamu nggak tahu agamaku apa? Dulu kalau jam istirahat banyak cewek-cewek datang ke musala sekolah cuma demi lihat aku salat Zuhur.”

Lagi-lagi Arshi menggeleng. “Saya dulu bukan anak asrama putrinya Dokter.”

“Jangan bilang gitu dong, aku jadi nggak enak,” ucap Mas Eri seraya mengibaskan tangan. Ketika ekor matanya menatap tenant yang spesialis menjual udon, ia mengajak Arshi masuk ke sana. “Ini aja deh, kamu nanti bisa pilih menu katsu dan lainnya. Halal juga, kok.”

“Boleh, deh,” Arshi mencicit, lalu hanya bisa pasrah dibawa ke sana-kemari oleh Mas Eri.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Breadcrumbing #NANOWRIMO 2023Where stories live. Discover now