9. Kecewa

18 1 0
                                    

"Ketakutan seorang ibu, adalah ketika ia mengecewakan anaknya sendiri."

Sorasaid1 __

________________________________________________________

Mendengar Sya yang terus-menerus mengucapkan kalimat yang menyalahkan diri sendiri, membuat Zay menekan tombol darurat. Ia hanya diam tanpa bergerak ataupun bicara. Ia ingin, Sya mengeluarkan seluruh perasaannya. Zay berharap, dengan begitu bisa mengurangi rasa sakit di tubuh Sya.

Sedangkan Sya terus bergumam.

"Aku kotor, Zay.."

"Aku tak bisa menjaga diriku sendiri.."

"Aku hanya perempuan yang rusak,"

"Aku hanya ingin bahagia Zay!"

"Mengapa cobaan ini terjadi padaku?!"

Sya menggeleng kan kepalanya lemah. "Aku tak kuat, Zay.."

"Ak-aku.." air mata tak bisa Sya hentikan.

Rasa sesak di dadanya tak kunjung berhenti. Belum lagi rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya.

Ceklek

Satu dokter perempuan dan dua suster masuk ke dalam ruangan Sya.

"Halo, bagaimana keadaanmu sekarang, Sya?" tanya dokter itu sembari tersenyum pada Sya.

Sya terkekeh. Suaranya masih serak, namun lebih baik daripada saat baru bangun tadi. "Saya kotor, Dok.."

Lirihan itu bisa terdengar jelas di telinga sang dokter. Yah, dokter itu paham. Paham bahwa memang ini sulit bagi Sya. Pelecehan yang ia alami cukup parah, dan mungkin akan mengguncang kejiwaannya.

"Sabar yah, sayang, kamu masih harus dirawat inap untuk beberapa hari ke depan." Dokter itu berucap dengan lembut.

Sya tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dokter itu memeriksa keadaan Sya. Ia menatap Zay yang juga hanya terdiam. Ia memang kenal dengan keluarga dhalem. Sungguh batu yang sangat besar sedang menimpa mereka.

Setelah kepergian dokter tadi, Zay kembali mengajak bicara Sya.

"Mbak, lapar?" Zay mengambil mangkuk berisi bubur yang ada di atas nakas.

Sya menggeleng. Ia kini duduk menyandar di atas brankar. Brankar itu tadi sedikit dinaikkan, atas keinginan Sya dan perizinan dari dokter. 

"Mbak, aku akan pergi ke makam." Zay menghela nafasnya berat.

Sya menolehkan kepalanya pada Zay. "Aku ikut."

Ucapan Sya terdengar seperti perintah di telinga Zay. "Aku tak bisa membawamu."

Mendengar penolakan itu, Sya tidak terima. "Oh, karena tubuhku kotor, kamu tidak ingin membawaku?"

Mendengar ucapan Sya, Zay membulatkan matanya. "Apa maksudmu, Mbak?"

"Aku tahu aku kotor, Zay. Tapi aku juga ingin ke makam. Apa karena tubuhku yang sangat amat kotor ini, aku jadi tak boleh datang ke pemakaman?" lirihan di akhir ucapan Sya, membuat Zay membuang wajahnya ke arah lain.

"Zay, biarkan aku ikut,"

Zay menghela nafasnya. "Mbak, kamu bahkan gak bisa bangun dari tempat tidur. Lalu bagaimana kamu mau ikut? Aku takut, kamu nantinya kenapa-napa, Mbak. Aku janji, aku akan membawaku ke makam setelah kamu membaik." Zay bangun dari duduknya, lalu berjalan perlahan meninggalkan Sya yang kini menghela nafas.

Jika dipikir-pikir lagi, memang benar adanya. Jika ia memaksa pergi, lalu bagaimana caranya?

Perlahan, air matanya kembali luruh membasahi pipi.

***

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tubuh Sya kembali pulih dan diperbolehkan untuk pulang. Dan setibanya di rumah, Sya selalu duduk di atas sajadah yang ia gelar di atas lantai.

Hari terus berlalu dan Sya tidak berubah. Sya keluar kamar hanya saat dipaksa makan, dan ketika ia hendak berwudhu. Berkali-kali Zahro menatap Sya yang duduk di atas sajadah.

Sya tidak membaca Al-Qur'an ataupun buku-buku Islami miliknya. Sya tidak memegang handphone ataupun alat tulis lainnya. Sholat pun, Sya memilih di akhir waktu. Tak ada lagi candaan dan tawa bahagia ataupun pura-pura yang Sya lakukan.

Seperti hari ini. Di mana Sya kembali duduk di atas sajadah yang ia gelar. Zahro yang selama ini diam, akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar Sya. Sya sudah di tawari kamar Zay agar ia tidak teringat lagi kejadian itu, tapi Sya menolak dengan gelengan tanpa berucap.

"Sayang," Zahro memanggil Sya dengan suara yang begitu lembut.

Ia berjalan masuk dan lalu duduk di depan Sya, yang berarti ia juga duduk di atas sajadah yang sama dengan Sya. Namun Sya tidak menjawabnya. Bahkan melirik sosok yang selama ini menjadi mamanya pun, tidak.

Melihat Sya tidak berucap apapun, Zahro jadi menunduk. "Sya, nanti kamu ikut Mama, ya?"

Sya menggeleng.

Zahro mati-matian menahan air matanya yang akan luruh sebentar lagi. "Sya, jika kamu terus berada di kamar ini, kamu akan terus teringat,"

"Teringat bahwa Sya begitu kotor?"

Zahro langsung mengangkat pandangannya. Sya masih menatap datar dirinya.

"Tidak sayang, bukan itu maksud Mama!" Zahro mencoba untuk membujuk Sya. Karena, memang bukan itu maksudnya.

"Ma, Sya ini kotor!" Sya masih tidak mengubah pandangan kosongnya.

Zahro menggeleng kuat. "Sya, kamu tidak kotor. Ini hanya sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan. Mama ingin, kamu ikut hadir dalam pengajian di dalam pesantren." Zahro menyampaikan apa yang sedari tadi ingin ia ucapkan.

Sya langsung berkaca-kaca. "Ke dalam pesantren?"

Sya langsung berdiri. Mukena yang ia gunakan tersingkap, hingga mengenai wajah Zahro.

"Mereka selama ini menghina dan menginjak-injak harga diri Sya. Setelah operasi, tidak ada yang tahu kalau Sya bisa melihat, kecuali keluarga dhalem. Apa Mama pikir mereka akan diam, saat tahu keadaan Sya? Mama pikir, mereka tidak akan lebih memandang rendah Sya?" Sya melihat ke arah Zahro yang kini sudah menangis.

"Hari itu! Hari itu, keempat laki-laki binatang itu ... binatang itu, yang berhasil meremukkan dan menghancurkan harga diri Sya! Bahkan, mereka mengambil paksa mahkota Sya. Mereka menatap Sya seperti mangsa yang dinanti-nantikan. SYA KOTOR!" teriak Sya dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

Mendengar ucapan sang putri kesayangan, membuat ia semakin terisak. Sya menengadah dan langsung terduduk.

"Aku kecewa padanya, padamu, pada mereka dan kalian semua! MENJANJIKAN AKU BAHAGIA SEDANG TAKDIR BAHKAN MEMBENCIKU!"

Zahro tidak kuat lagi. Ia bangkit dan berjalan ke luar kamar Sya. "Sya, jika kamu mau pergi, Mama menunggumu di luar. Acaranya setelah ashar, jadi masih lama." ia berharap, Sya bisa pergi dan kembali mendapatkan ketenangan di kajian nanti. Karena selama ini, yang membuat Sya tenang hanyalah Allah Subhanahu wa ta'ala.

Dengan langkah gontai ia berjalan keluar kamar Sya. Sedangkan Sya tidak berucap apapun lagi. Zahro terduduk di atas kursi ruang tamu. Disana ada Fadil yang baru saja pulang.

"Ada apa?" Fadil merasa ada sesuatu yang baru saja terjadi, karena mata merah dan hidup yang juga ingusan itu ada di wajah istrinya.

Zahro kembali menangis, tapi sekarang ia terisak hebat. Fadil mendatanginya, dan langsung membawanya ke dalam pelukan.

"Di-dia ... ke-ke-kecewa padaku ..."

Bersambung ...

Menanam Cinta Kepada Allah Where stories live. Discover now