Chapter 05

30.6K 3K 38
                                    

Chapter 05 : I decided to leave her ... finally

Sejak sekitar dua-tiga hari setelah Paman datang menyelamatkanku yang terperangkap di dalam sumur, tidak ada yang terjadi. Keadaan tenang mengiringi masa pemulihanku.

Ya, aku sakit.

Karena kehujanan dan terendam air sumur selama berjam-jam, aku terserang flu.

Tubuhku memang lemah sejak dulu. Karena itu, aku mudah sakit dan tidak mudah untuk sembuh.

Kini aku sudah bisa berdiri di atas kedua kakiku sendiri tanpa kepala terasa berat dan pandangan berputar-putar—walaupun demamku masih ada dan tubuhku juga masih lemas sih, tapi selain itu tidak ada, kondisiku sudah lebih baik.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Sebelum tubuhku benar-benar sembuh total, beberapa pelayan di kediaman Lowell datang ke paviliun tempatku tinggal untuk menyiksaku.

Aku tidak tahu apa alasannya. Apa salahku?

Aku juga tidak tahu apa tujuan mereka memperlakukanku seperti ini.

Setelah beberapa hari aku dipukuli oleh para pelayan, aku diseret menghadap Ibu oleh pelayan-pelayan itu. Sekarang, setelah Ibu sembuh dan kondisinya sudah pulih kembali—aku tidak tahu Ibu sakit apa—Ibu lah yang beralih memukuliku.

Barulah sekarang aku mengerti jika pelayan-pelayan yang menemui dan memukuliku itu datang karena perintah Ibu.

Ibu yang tidak dalam kondisi sehat tidak bisa melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena itu, ia memerintah mereka untuk menggantikan tangannya. Sekarang, setelah kondisi Ibu kembali seperti semula, ia lah yang mengambil alih menuntaskan kemurkaannya.

Selama berhari-hari aku terus disiksa. Aku hanya bisa beristirahat ketika pingsan. Dan ketika kembali terbangun, pukulan, tamparan, dan tendangan pasti kembali menyerang tubuhku secara bertubi-tubi.

Paman bilang, "Aku akan datang lagi secepatnya." di pertemuan kami terakhir kali.

Namun, sudah lebih dari dua minggu berlalu, dan kata-kata itu masih belum terlihat wujudnya. Kalimat itu masih hanya berupa untaian kata tanpa bukti yang nyata.

Aku sangat berharap Paman akan muncul, datang menyelamatkanku. Namun, hingga detik ini, janji Paman masih jadi sebatas janji.

"I-ibu, sakit ..! C-cukup, kumohon ..."

"Jangan panggil aku 'ibu', sialan! Aku bukan ibumu!"

Aku sudah tidak bertenaga untuk merintih. Aku hanya bisa meringis tanpa suara dengan air mata yang terus mengalir tanpa bisa kukendalikan.

Dengan sisa-sisa tenaga, aku menutup kepalaku menggunakan kedua tangan dan meringkuk di atas lantai ketika Ibu masih tak henti-hentinya menendang dan menginjak seluruh tubuhku.

Setelah cukup lama melampiaskan amarahnya dengan menyerangku, dengan napas menderu pendek-pendek, Ibu berhenti dan kini hanya menatapku dengan tatapan nyalang.

Ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Namun, dalam jeda hitungan detik yang berharga itu, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan di benakku. Dan dengan impulsif aku menyuarakannya dengan mencicit pelan.

"... Bu, apa kau pernah merasa kesepian?"

"Jangan bicara padaku! Aku benci mendengar suaramu!"

Bersamaan dengan kalimat gertakan itu, Ibu kembali menendangku sekali lagi, di bagian perut.

"Hidupku sengsara karenamu! Kau tidak akan pernah mengerti betapa tersiksanya aku selama ini! Melahirkanmu adalah siksaan paling kejam dalam hidupku!"

Aku tahu itu. Ini bukan yang pertama. Tidak sekali dua kali Ibu mengatakannya. Tiap kali marah, Ibu pasti membicarakannya—betapa tersiksanya ia karena kehadiran diriku dalam hidupnya. Aku sudah hafal tiap kalimatnya.

Young Lady, Helene Morgan [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora