26. Jalan Tengah

44 6 2
                                    

Masha pov

"Ibu tensinya naik lagi?" Tanya saya setelah melihat Ibu meminum obat hipertensinya di dapur secara diam diam.

Ibu terlihat terkejut dengan keberadaan saya disana.

"Bu..." Saya mendekati Ibu untuk meminta jawaban.

Ibu malah berbalik badan dan kembali dengan aktifitasnya mengelap meja dapur yang kotor sehabis untuk memasak.

"Pusing dikit, tapi Ibu nggak papa Sha."

Saya berdecak lalu menghampiri Ibu. Saya juga mengambil kain lap ditangan Ibu.

"Ibu istirahat aja, ini biar aku yang lanjutin."

Ibu hendak mengambil kain lap dari tangan saya tapi saya menjauhkannya.

"Biar aku aja Bu. Ibu istirahat di kamar. "
Pada akhirnya Ibu menurut untuk beristirahat di kamar.

Setelah selesai dengan tugas rumah saya pergi ke kamar Ibu untuk memberikan teh hangat.

Tok...tok...tok...

Saya membuka pintu kamar Ibu setelah sebelumnya mengetuknya lebih dahulu. Disana saya melihat Ibu tidur meringkuk tanpa selimut yang membungkus tubuh ringkih Ibu. Saya juga sempat menangkap saat Ibu dengan cepat mengusap kasar ujung matanya. Saya membuang nafas berat. Ibu pasti lagi mikirin sesuatu sampai tensinya naik dan nangis gini.

Saya mendekat lalu meletakkan segelas teh hangat di nakas samping tempat tidur Ibu.

"Teh hangat, Ibu mau minum sekarang?"

Ibu menggeleng, "Nanti aja Sha. Ibu mau tidur dulu."

Saya mengangguk lalu mengambil selimut dan menyelimutkannya pada tubuh Ibu.

"Mas Duta tadi bilang katanya ada jaga Bu, jadi Mas nggak pulang. " kata saya sembari membenarkan selimut Ibu.

Ibu mengangguk lalu memejamkan matanya.

"Ibu istirahat ya, biar badannya enakan." Saya memilih untuk membiarkan Ibu beristirahat namun ketika tangan saya sudah memegang gagang pintu saya kembali berbalik dan membuat Ibu membuka matanya lembali.

"Kenapa Sha?"

"Boleh nggak Masha tidur disini sama Ibu?"

Sekian detik saya dan Ibu hanya berpandangan. Kami sama sama terdiam. Kalau dipikir pikir setelah kepergian Ayah rumah ini menjadi sangat sepi. Kami merasakan kehilangan yang amat dalam dan setiap kami memilih mengobatinya sendiri sendiri. Kami tidak pernah menunjukkan rasa sedih kehilangan kami di depan satu sama lain dan mungkin karena hal itu sekarang baik saya, Mas Duta dan Ibu pun lebih memilih memendam apa yang kami rasakan sendiri. Kami cenderung tidak pernah berbagi kesedihan satu sama lain. Dan mungkin sekarang saya harus memutusnya sekarang. Mungkin dengan saya tidur disini menemani Ibu bisa membuat Ibu terbuka dan mau berbagi cerita pada saya.

"Bu..."

Ibu tersenyum mengangguk lalu menepuk sisi kosong disebelahnya. Saya tersenyum semangat menaiki ranjang dan berbaring di samping ibu tidur. Sebenarnya ada sedikit rasa nyeri di dada saya ketika membaringkan tubuh saya ditempat ini. Space ini milik Ayah. Dulu ketika Ayah masih ada tentulah Ayah yang ada di posisi ini untuk pillow talk dengan Ibu.

Tadinya Ibu dan saya tidur dalam posisi saling berhadapan. Kami saling bertatapan satu sama lain tanpa mengucapkan kata apapun. Dan dengan begitu saja membuat Ibu kembali meneteskan air matanya.

"Ibu kenapa nangis?"

Saya hendak mengusap air mata Ibu tapi Ibu lebih dulu mengusapnya dengan kasar.

"Enggak, Ibu nggak papa. Ibu cuma nggak nyangka aja anak bungsu Ibu udah sebesar ini. Ibu bersyukur tiap kali lihat kamu bener bener udah pulih dari trauma kamu." Diakhir kalimat Ibu tersenyum mengusap pipi saya.

Kita Usahakan Rumah ItuWhere stories live. Discover now