Her Kindness

830 60 10
                                    

Trigger warning: Contains explicit descriptions about mental issues, suicidal thoughts, disability, upsetting scenes, and traumatic events

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Trigger warning: Contains explicit descriptions about mental issues, suicidal thoughts, disability, upsetting scenes, and traumatic events.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

"Hasta, nggak pusing? Masih kuat duduk?"

Laras bertanya seraya mengusap singkat bahu ini dari belakang punggung kursi roda.

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku masih pengin di sini sebentar lagi," tanggap saya.

Laras kemudian mengambil tempat di bangku kayu panjang tepat di sebelah kursi roda, menemani saya. Segarnya pemandangan taman rumah sakit tersaji di hadapan kami. Sinaran mentari teduh di pukul tujuh pagi bercampur dengan warna-warni bunga dan hijau rerumputan Semua terasa tidak menjemukan untuk dipandang.

"Besok kalau nggak ada halangan, dokter bilang kamu sudah boleh pulang," tukas Laras.

Saya lalu hanya mengangguk tipis tanda setuju. Ada perasaan bungah di tengah dada yang akhirnya membuat bibir ini tak mampu menahan senyuman lega. Sudah genap sepuluh hari, dan akhirnya saya bisa lepas dari ruang putih berbau khas desinfektan yang tidak pernah berhenti membangkitkan trauma lama.

Ya, sepuluh hari, dan sudah cukup rasanya saya disuguhi rasa sakit yang begitu repetitif, dikelilingi kabel serta slang-slang yang semakin membuat terkekang. Sepuluh hari, dan saya akhirnya melihat bagaimana diri ini hampir tidak pernah dibiarkan sendiri. Selalu ada Damar ataupun Laras yang rasanya tidak pernah jenuh bergantian menemani. Sepuluh hari, melihat bagaimana mereka begitu bersabar dengan keadaan, hati saya rasanya belum pernah merasakan tekad sekuat ini semenjak kecelakaan. Ya, tekad untuk bertahan—berusaha tetap hidup dan menjalani hari-hari meski penuh kesakitan.

"Kamu masih agak pucat, Has. Nanti makannya harus lebih banyak lagi, ya. Supaya nggak gampang lemas seperti waktu itu," pesan Laras tiba-tiba. Dirinya sekilas menelisik wajah saya.

"Ingat pesan dokter, antibiotik masih harus diminum buat sebulan ke depan. Mungkin masa pemulihan pasca sepsis akan lama, tapi kamu harus tetap sabar, ya? Kalau butuh apa-apa, segera kasih tahu Mbak atau Damar," peringat Laras tenang, yang kemudian saya tanggapi dengan anggukan.

"Sudah dari seminggu lalu, Hawa berulang kali nelepon Mbak, Has."

Ucapan Laras seketika membuat saya menoleh lagi. Pandangan ini pun terputus dari hijaunya taman rumah sakit, kembali pada mata Laras.

"Dia sempat tanya-tanya terus soal kamu. Mau nggak mau, Mbak akhirnya cerita soal keadaanmu yang sempat kritis."

Saya tak lantas menanggapi dengan kata. Memilih untuk memberi pandangan yang menuntut penjelasan.

"Hawa perlu tahu soal kamu, Has. Dia kakakmu. Kembaranmu," ucap Laras tanpa ragu. Jemarinya sekilas tampak merapatkan kain cahsmere biru tua di atas pangkuan saya.

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang