11 - Remembered, L

81 3 3
                                    

Aron menghembuskan napas berulang kali menggenggam erat sekotak kue berkardus merah tua dengan pita putih diatasnya. Tangannya yang lain tersimpan di saku celana menimbang ke depan apakah ia harus memencet bel rumah ini atau ia berbalik kembali saja. Ingatan beberapa waktu lalu kembali terputar, dimana ia mentah-mentah ditolak oleh orang tua Kiara. Bahkan dengan jelas Kiara diusir oleh ayahnya dan tidak pernah di hubungi lagi.

Tidak mau sia-sia atas kedatangannya kemari, Aron perlahan menekan tombol bel rumah dua kali. Ia akan terima konsekuensinya, asal harapan Kiara bertemu bundanya bisa terwujud. Terlebih keluarga Kiara belum mengetahui tentang kehamilan putrinya. Berselang beberapa menit Aron hendak kembali menekan bel namun, suara gagang pintu di putar terdengar disusul dengan pintu yang ditarik dari dalam.

Perempuan bergaun rumah dengan apron bunga terlihat mengintip dari celah pintu yang terbuka separuh. Ia nampak terkejut menelusuri pria tinggi di depan pintu.

"Selamat sore, saya Aaron. Suami Kiara," sapa Aron takut Kinara—bunda Kiara lupa akan dirinya karena, mereka baru bertemu sekali.

"Boleh bicara sebentar?," tanya pria itu pada Kinara yang masih terdiam. Kinara nampak bingung menoleh ke belakang ke arah jam dinding seakan bingung menawarkan ya atau tidak.

"Si—ssilahkan," gugup Kinara membuka pintu lebih lebar. Aron menarik napas lega, ia masih diterima oleh ibu mertuanya.

Begitu masuk Aron disuguhkan pada ruangan kecil seperti ruangan transit berisi foto-foto kenangan keluarga ini. Mulai dari Kiara kecil hingga pencapaian Kiara di masa sekarang. Mengekor pada Kinara, mereka berbelok ke lorong di sebelah kiri ruangan menuju ruangan yang lebih besar. Itulah ruang tamu yang dulu mereka pakai berbincang. Sebelumnya Aron tidak memperhatikan rumah ini karena situasi saat itu begitu mencekam.

"Silahkan duduk,"

Aron mengangguk meletakkan kotak yang ia bawa keatas meja kaca. Kinara melepas apron melipatnya lebih kecil di pangkuannya dan mulai duduk di sofa seberang Aron duduk.

"Maaf menganggu anda," ujar Aron melirik dapur yang sedikit berasap dengan aroma hidangan laut menandakan aktivitas baru di laksanakan disana. Kinara menggeleng masih bingung harus menanggapi bagaimana.

"Kiara sedang hamil, anak saya,"

Kinara sontak mengangkat kepala yang semula tertunduk. Setengah tidak percaya, terasa seperti mimpi. Putrinya akan segera menjadi ibu. Suasana berubah menjadi haru bagi Kinara.

"Tadi pagi, Ra meracau mau bertemu dengan anda tapi takut anda dan suami menolak kedatangannya. Jika anda berkenan—,"

"Apa Ra baik-baik saja? Kamu bisa membahagiakan Ra? Apa Ra juga mual-mual begitu parah? Dia jarang sakit, jika iya pasti sangat berat baginya," cerocos Kinara berangsur terisak kecil. Aron memainkan jemarinya pada pangkuan membiarkan Kinara menyalurkan emosinya.

"Anda tidak perlu khawatir, Ra baik-baik saja. Jika anda bisa menjenguknya sekali saja, saya akan sangat berterimakasih," pinta Aron begitu Kinara sudah mulai tenang.

Wanita itu mengangguk begitu antusias, "tentu saya bisa, tapi mungkin sendiri tidak bersama ayahnya. Saya butuh waktu untuk membuat Robert mengerti, ia terlalu mencintai Kiara," ungkap Kinara kemudian bersedih.

Mendengar hal tersebut, Aron akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya ini bisa mengurangi rasa sedih Kiara walau tidak menyembuhkan perempuan itu secara total. Setelah saling bertukar kontak, Aron undur diri karena langit semakin menggelap.

Sepeninggal mobil Aron keluar dari pekarangan rumah, sebuah mobil putih berganti masuk. Kinara tetap berdiri di teras menunggu si pengemudi turun. Begitu pria tinggi dengan setelan abu-abu terlihat, Kinara segera mengusap air matanya yang masih berbekas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mr. GoodnestWhere stories live. Discover now