BAB 2

1 0 0
                                    

"mas nggak bisa nganter kamu pulang, nggak apa?" Indri mengangguk pasti.

"Lagian juga ada mas Angga kok".

Hari ini Indra ada eskul basket dan Indri juga ada les piano di rumah, jadi gadis itu harus pulang dengan kakak sepupunya karena tak mungkin ia menunggu Indra sampai selesai. Rangga Tri Dharma, putra sulung dari  Tri yang juga merupakan adik dari Eka. Angga ini merupakan kakak kelas Indri dan juga Indra, pemuda jangkung dengan wajah yang manis itu tersenyum cerah berbanding terbalik dengan wajah Indra yang nampak bete.

"Titip adeku mas, kalo sampe lecet... Awas aja. Chat mas nanti kalo kamu dah sampe rumah" Indra berjalan meninggalkan parkiran  meskipun sesekali ia tetap berbalik dan menatap keduanya.

Indri melambai terus sampai saudara kembarnya itu menghilang di balik pagar.

"Mas mu masih posesif kayak biasa ya" celetuk Rangga.

" Ya begitulah mas Indra, oh iya om Tri apa kabar? Maaf banget Indri belum bisa main ke rumah".

"Nggak apalah. Oh iya gimana persiapan kamu buat acara keluarga nanti?" Indri mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu dengan ekspresi berfikir, tak lama ia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

"Siap donk. Indri juga makasih banget sama om Tri.  Om Tri udah baik banget mau bantu urusin semuanya" tanpa di duga Rangga mendaratkan tangannya ke pucuk kepala Indri dan mengusaknya pelan.

"Itu nggak seberapa sama pengorbanan kamu nantinya, inget kalo nanti kamu ada kendala langsung hubungi mas sama ayah aja ya. Nggak usah sungkan".

"Iya, sekali lagi terimakasih".

"Mas gak mau mampir dulu?" Indri turun dari motor dan menyerahkan helm yang tadi ia kenakan.

"Nggak, lain kali aja. Mas balik dulu ya, see you" Motor ninja Kawasaki hitam itu pun langsung melesat meninggalkan kawasan rumah Mewah dengan bangunan bergaya eropa yang dominan bercat putih itu.

Pelajaran piano berjalan lancar, bahkan Indri berulangkali mendapatkan pujian dari Mr Alex. Pria berkebangsaan Britania Raya itu benar-benar mengagumi bakat musik dari anak perempuan Eka, namun sayangnya ia amat tahu dan mengenal betul sikap dan perangai dari ayah si kembar itu terlebih setelah kematian istrinya tercinta. Terkadang pria lima puluh tahunan itu merasa agak kasihan dengan si kembar, tapi ia bisa apa? Ia hanya guru yang diminta oleh teman semasa kuliahnya dulu untuk mengajar selama beberapa bulan di Indonesia.

Alunan lembut dari tiap tuts yang ditekan terdengar mengalun di dalam ruangan, sebuah lagu yang ditulis oleh seorang komposer kenamaan asal jerman, Beethoven dengan judul Fur Elise. Indri begitu menikmati permainannya, tak perlu melihat buku lagu, ia sudah hafal betul urutan nadanya. Gadis itu memejamkan mata sampai saat tuts terakhir ditekan barulah ia membuka matanya lagi.

"Nice Indri. Kamu mulai bisa menghandle nada dan irama". Mr Alex berjalan mendekat sambil bertepuk tangan.

Indri berbalik dan menundukan kepalanya sesaat lalu tersenyum.

"Terimakasih Mister" ucapnya.

"Nah, sepertinya hari ini tidak ada komentar dan waktu belajar kita juga sudah habis. Kalau begitu saya pamit pulang, sampai ketemu lusa, Lady Indri".

"Terimakasih juga Mister, mari saya antar sampai depan".

Setelah selesai les, Indri langsung kembali ke kamarnya untuk belajar. Biarpun ia lebih tertarik pada seni dan musik, gadis itu juga tahu kalau nilainya tidak boleh lagi lebih rendah dari Indra atau ayahnya akan kembali marah. Jam setengah tujuh bi Ina memanggilnya untuk makan malam, dengan segera ia membereskan buku-buku pelajarannya dan langsung turun menuju meja makan.

Disana sudah terlihat Indra yang tengah duduk sendirian, itu artinya ayah mereka akan pulang terlambat atau bahkan mungkin tidak pulang.

"Ayah belum pulang?".

"Ayah ada urusan di luar kota, katanya lusa baru pulang" Indri hanya ber-oh sebagai jawaban.

"Besok kan libur, gimana kalo kita jalan-jalan?" Indri menghentikan aktivitas menyuapnya, ia menelan nasi yang sempat ia kunyah dan lalu meneguk air agar mendorong nasi itu turun dari kerongkongannya.

"Boleh, mau main ke mana?". Ucapnya kemudian.

"Bogor aja gimana? Kita udah lama gak main ke vila yang di puncak".

"Okeh, boleh".

Setelah makan malam, keduanya kembali ke kamar masing-masing. Biarpun kembar, tapi sejak kecil mereka sudah tidur terpisah dan itu atas keinginan mendiang ibunda mereka saat Indri dan Indra memasuki usia dua tahun.

Di dalam kamarnya Indri berbaring dan menghadap pada dinding, dimana Foto keluarga mereka terpajang. Di foto itu terdapat ia, Indra, bundanya dan ayah mereka dengan wajah yang begitu bahagia. Ya andaikan saja insiden itu tidak terjadi, mungkin sosok sang bunda tak akan mungkin di panggil sang pencipta dan Indri tak akan juga di benci oleh ayahnya sendiri.

"Bunda, bunda sehat kan? Sabar ya bunda sebentar lagi. Sebentar lagi kita bongkar semua kebusukan dia dan segala kejahatannya, Indri harap bunda mau bersabar" monolognya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TWINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang