14. Kamu Aman

1.7K 280 62
                                    

Yuk biza yuuk produktif di akhir tahun 🤧🤧🤧.

"Teh...Teh Rara...Bangun, Teh." Sekar menggoyangkan kaki Maura. Langit mulai memancarkan warna jingga, sebentar lagi matahari terbenam. Maura masih tertidur pulas sejak beberapa jam lalu. Karena lelah setelah menggembala kambing seharian.

"Ngh..." Maura melenguh sambil memejamkan mata. Tidurnya terganggu.

"Bangun, Teh. Di luar ada Kang Bima."

"Ngapain dia ke sini?"

"Sebentar lagi magrib. Kang Bima nyuruh Sekar bangunin Teteh. Supaya solat magrib di masjid. Pamali juga tidur waktu magrib."

"Aku solat di sini aja."

"Yaudah Tetehnya bangun dulu. Kang Bima bilang yang penting Sekar bangunin Teteh. Si Akang nunggu di depan pintu dapur."

Bimanjing!

Maura memaksakan tubuhnya untuk bangkit. Lalu berjalan malas-malasan menuju pintu belakang.

"Ayo bawa mukena kamu."

"Gue males. Masih ngantuk." Wajah Maura masih sayu, menampakkan nyawanya yang belum terkumpul.

"Kamu udah lama tinggal di sini dan nggak pernah sekalipun ikut solat magrib berjamaah."

"Ibadah gue ya urusan gue, Bim!" Maura nggak suka dipaksa.

"Kamu tinggal di Pancabentang, harus mengikuti segala tradisi di sini. Solat berjamaah seluruh warga termasuk kewajiban nggak tertulis. Hanya orang sakit, perempuan yang punya bayi dan menstruasi yang diperbolehkan nggak ke masjid."

Maura menggoyangkan tangannya, mengusir Bima pergi. "Yaudah bilang aja gue sakit. Lo kan pinter ngeles, Bim. Aturin aja alesan buat gue."

"Setelah solat magrib akan ada rapat Maulid Nabi. Kewajiban kamu untuk datang jadi dua kali lipat."

"Ngeselin lo!" Maura mengacungkan jari tengahnya pada Bima.

"Ayo berangkat bareng aku. Silahkan ambil mukenanya," jawab Bima tenang. Seperti Bima yang biasanya, tetap datar dan nggak pernah terpengaruh amukan Maura.

"Anjing, gue nggak suka keluar rumah malem-malem. Gelap!" Perjalanan terjauh Maura saat malam hanya ke kamar mandi. Kebelet buang air besarpun pasti dia tahan sampai pagi. Dia nggak mau mengambil resiko terpeleset ke dalam kolam berlumuran kotoran manusia.

Tapi Bima tetap memaksanya keluar rumah.

Meski langit mulai menggelap, tapi mereka masih bisa berjalan tanpa alat bantu penerangan. Berbeda dengan pagi tadi, saat ini Bima sengaja berjalan bersisian dengan Maura, sambil memegang obor padam di tangan kirinya.

"Keluar rumah untuk ibadah adalah sebuah kewajiban, Ra." Bima baru membuka suara saat bangunan mesjid mulai nampak.

"Nggak usah sok jadi ustad dadakan," cibir Maura. Dia masih dongkol karena dipaksa.

"Sehancur-hancurnya hidup kita, jangan pernah lupa sama Tuhan," ucap Bima pelan.

Maura mendelik. "Bullshit. Tuhan nggak pernah ada buat nolongin gue." Nggak pernah ada yang menolong Maura, kecuali dirinya sendiri. Sudah sejak lama Maura meragukan Tuhan. Agamanya hanya formalitas saja tertera di KTP.

"Bukan Tuhan yang nggak pernah nolongin. Mungkin kita yang nggak mau ditolong." Bima menepuk bahu Maura sekali. Langkah mereka terhenti di depan masjid. "Tempat wudu perempuan di sebelah sana, Ra." Bima memberi tahu meski Maura pernah ke sini. Lalu dia berjalan terpisah, meninggalkan Maura yang masih kesal.

Meski berat hati, Maura berwudhu dan duduk di pojok shaf terdepan untuk perempuan. Di hadapannya berdiri bilik bambu sederhana yang menyekat laki-laki dan perempuan. Tak lama bahunya ditepuk oleh Sekar.

Sampai Tak Terlihat LagiWhere stories live. Discover now