21. Sekolah Alam

1.7K 282 58
                                    

Dalam waktu beberapa bulan, para perempuan di Pancabentang dan Bentangluar semakin mahir membaca dan menghitung. Meski sebagian masih terbata-bata, tapi mereka gemar membaca buku di sudut mesjid.

Bima dan Maura membuat perpustakaan kecil di pojok mesjid. Bima membeli ratusan buku setiap pergi ke Kota. Awalnya hanya buku cerita anak yang kosakatanya sedikit dan bertopik ringan serta mudah dipahami. Lama kelamaan Maura meminta Bima mengisi perpustakaan dengan buku pengetahuan bahkan ensiklopedia.

Ambisi Maura yang tadinya hanya sebatas menjadikan perempuan Pancabentang bisa membaca menulis dan berhitung, kini semakin besar. Maura ingin semua perempuan di sini sama pintarnya dengan kaum lelaki. Bukan hanya sekedar mahir di bidang perdapuran.

Maura selalu membahas mimpi-mimpi dan rencana jangka panjangnya dengan Bima. Lalu pria itu akan membantu mewujudkannya melalui pengadaan logistik. Seperti malam ini, setelah mereka menghabiskan waktunya untuk membuat bahan ajar.

"Kayaknya bagus nggak sih Bim kalo kita buat sekolah non formal, semacam Sekolah Alam gitu. Gue mau sisipin mata pelajaran yang berhubungan sama kehidupan sehari-hari. Kayak Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Ekonomi. Mungkin nggak akan kompleks, contohnya Matematika, nggak sekompleks ada materi kalkulus segala, tapi seenggaknya ada unsur matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran lain juga gitu. Pengennya lebih ke banyakin praktek. Soalnya gue pikir, banyak materi yang diajarin di sekolah tapi nggak relate sama kehidupan sehari-hari."

"Gue pengen ke depannya mereka bisa berilmu dan mandiri. Setiap orang pasti punya minat bakat yang beda. Gue mau tonjolin itu. Nggak harus semua orang mahir menghitung, tapi pasti orang itu punya kelebihan di bidang yang lain."

Maura dan ambisinya yang nggak pernah hanya sekedarnya. Dia menceritakan pikirannya pada Bima dengan berapi-api. Kilat semangatnya terpancar pada netranya meski penerangan hanya bersumber dari cahaya petromak.

Bima nggak pernah nggak setuju dengan ide cemerlang Maura. Tapi mereka punya satu fakta pahit, yang Bima sampaikan perlahan. "Maura, ide kamu bagus banget. Aku setuju. Kamu bisa rincikan dulu butuh apa aja. Tapi masalahnya...kita hanya menumpang di Pancabentang. Kita tetap harus minta ijin dulu ke Ki Wawan sebagai Ketua Adat di sini."

Senyum Maura langsung lenyap, beserta pendar di matanya yang meredup. Bima nggak suka melihatnya.

"Kenapa harus ijin lagi? Kan udah kemarin-kemarin? Ini semua kan haknya warga, yang berhak menolak sekolah ya mereka bukannya tetua Pancabentang!" Maura merasakan nada bicaranya naik beserta amarahnya yang muncul.

Bima langsung meraih kedua tangan Maura, menggenggamnya erat, mencoba menenangkan, sekaligus mencegah tangan Maura mengekspresikan kemarahannya. "Maura, kita hanya menumpang di Pancabentang. Kita ini tamu, Ra. Kalau kamu bikin sekolah meskipun non formal, pasti tetap akan menggunakan fasilitas di Pancabentang, minimal menumpang tempat. Apalagi Desa ini masih menjunjung tinggi adat istiadat. Kita harus memastikan hal baru yang akan kita lakukan nggak melanggar aturan."

"Aku yang akan bicara dengan Ki Wawan. Kamu tunggu hasilnya aja. Aku akan mengusahakan hasil terbaik, Ra. Lebih baik sekarang kita bicarakan konsep Sekolah Alam yang kamu impikan. Ya?"

Maura memaksa kedua tangannya untuk terlepas dari genggaman Bima. Dia terlalu kesal untuk mencerna ucapan pria itu.

Bima meraih kedua tangan Maura lagi. "Kamu marah, itu manusiawi. Tapi, tolong kelola emosi kamu jangan sampai meledak ya? Ini sudah malam, suara teriakan kamu bisa terdengar ke seluruh Pancabentang."

"Anjing!" Maura mendesis. Dia marah pada keadaan, tapi bukan pada Bima. Maura nggak suka peraturan di Pancabentang yang nggak pernah memihak kaum perempuan. Dia nggak suka perempuan yang nggak pernah diberi pilihan.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang