21. Akhir, Baginya

71 7 4
                                    

Yoo Jimin, di sisi lain, juga tidak menginginkan ini

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Yoo Jimin, di sisi lain, juga tidak menginginkan ini.

Apa yang dia inginkan?

Dia bertanya-tanya selagi menangkis serangan Taeyong. Kedua pedang mereka bertabrakan—besi dan material yang tidak diketahui, pendek dan yang lebih panjang—dan Jimin mengeratkan cengkeramannya. Bunyinya seperti simfoni yang tersusun dari dendam lama dan kebencian baru, yang membentuk bola benang kusut, menggelinding pada keranjang kekacauan, terlampau sulit diuraikan.

Apa yang benar-benar dia inginkan?

Rahang Jimin mengeras. Dia maju dengan gegabah dan membalas membabi-buta, sama sekali tak seperti gadis yang dilatih Sungchan secara intensif. Gadis yang ini hanya ingin semuanya segera berakhir, oleh sebab itu gerakannya melambangkan ketidaksabaran seorang anak kecil. Taeyong, sebaliknya, meladeninya dengan lebih santai. Bahkan ketangkasannya dalam menghindar bisa saja digambarkan seolah dia sedang menari.

Di mata hijau Taeyong, ada keriangan yang ganjil. "Selain menjadi serakah, aku mulai berpikir kalian manusia tidak tahu caranya berhenti."

Jimin berdecak. "Dan kau tidak tahu caranya mengisi lubang besar dalam hatimu." Dengan sedikit memutar telapak tangannya, dia mengarahkan pedang ke atas, yang bila kena akan menghasilkan tusukan mematikan. "Kau tidak merasakan apa-apa. Kau hanyalah ... Cangkang kosong."

Taeyong tersenyum. "Kurang tepat. Sebenarnya saat ini aku merasa sangat"—antisipasi Taeyong begitu sederhana, begitu halus, yang melibatkan dia memblokir pedang Jimin, memberinya tekanan ekstra, sehingga pedang itu tetap di bawah.—"Terganggu."

Seruan frustrasi meluncur dari bibir Jimin—bagai pekikan badai musim dingin pada hari terganasnya. Memanfaatkan ukuran pedangnya, dia meloloskan senjata itu dari kungkungan Taeyong dan mengganti taktik. Dia maju lebih jauh. Dia memangkas jarak—tindakan yang bodoh sekaligus berani—dan pada dasarnya menguji peruntungannya.

Takdir berkata: tidak. Taeyong menangkap lengannya di udara. Memakunya di tempat dengan memelintirnya—sepertinya tanpa bersusah payah. Pernahkah kau mengenal seseorang yang amat berbakat, amat hebat, tanpa dia harus berusaha? Pinggiran pedang Jimin berjarak setidaknya selebar panjang binyeo dari leher Taeyong. Mendekati pun tidak. Hal berikutnya yang Jimin tahu, sebuah sikutan membuatnya terpelanting jauh menabrak tembok sebuah rumah.

Tidak, Jeno. Jimin tak pernah mengenal orang yang seperti itu. Tidak ada yang seperti kakakmu.

Rasanya lebih seperti dilempar oleh dua orang berbadan raksasa dibanding seorang pria yang tidak lebih tinggi dari Sungchan. Mungkin tiga. Pipi Jimin terasa nyeri. Saat meludah, dia melihat darah. Kulit di sekitar matanya robek akibat berbenturan dengan bebatuan. Kalau bukan karena hanbok-nya yang berlengan panjang, Jimin yakin lengannya akan bernasib serupa. Mungkin lebih parah.

Taeyong menghela napas. Diinjaknya pedang Jimin yang tak mampu terus dia genggam lantas menyepaknya menjauhi mereka. Api yang masih berkobar di sekitarnya menjadi latar belakang bagi lukisan yang bercerita tentang kehancuran dengan Taeyong sebagai bintang utamanya. "Tahukah kau apa yang lebih buruk dari beramah tamah pada manusia?"

Her Seven Lies ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora