Bab 17

2.8K 328 9
                                    

Kejadian malam itu menimbulkan trauma sendiri dalam diri Diandra. Ia berjengit setiap kali mendengar suara Tommy secara tiba-tiba. Bergidik tanpa sadar kala tanpa sengaja jemari Tommy menyentuh kulitnya. Ia bahkan tidak tahan bicara serta berdekatan dengan suaminya lebih dari sepuluh menit dalam kondisi hanya berdua. Selalu menginginkan ada orang lain di sekitar mereka, bisa jadi Keyano maupun Nana.

Sikap takut Diandra membuat Tommy merasakan penyesalan berkepanjangan.Sudah lepas kendali dan pada akhirnya menghancurkan kepercayaan Diandra. Ia tidak mengerti kenapa alkohol membuatnya lepas kendali dan menyerupai binatang yang ingin memperkosa istrinya sendiri. Ia berkali-kali meminta maaf dan semakin banyak kata sesal terucap, semakin diam istrinya.

"Diandra, aku mau ngasih tahu kalau Cindy dan aku hanya sekali saja bertemu. Setelah malam itu kami nggak pernah lagi berkabar. Aku juga sudah bilang sama Tania, nggak mau ketemu temannya lagi."

Dada Diandra berdebar saat nama disebut. Ia tidak bergerak dari kursinya, dengan kepala menunduk di atas piring. Tommy baru saja pulang dari kantor saat dirinya sedang makan malam dan mengeluh lapar. Mau tidak mau Diandra mengesampingkan rasa takut dan enggan untuk menyiapkan makanan bagi suaminya. Dua Minggu berlalu semenjak peristiwa malam itu dan sampai sekarang dirinya masih merasakan trauma.

Mencoba untuk tetap netral, ia bertanya pada suaminya. "Cindy itu teman Tania?"

"Ya, Tania yang mengenalkan kami."

"Kalian belum pernah bertemu sebelumnya?"

"Sudah, tapi hanya sekilas dan malam itu pertemuan kedua. Diandra, aku bersumpah sama kamu, nggak ada hubungan apa pun antara aku dan Cindy. Kamu boleh tanya Tania."

Diandra tidak menjawab, tapi tetap saja akan menuruti saran Tommy. Membicarakan dan menanyakan masalah ini pada Tania. Kalau memang keluarga Tommy menginginkan mereka bercerai, bukan begini caranya. Ia tidak bisa membiarkan dirinya dalam bahaya karena Tommy yang setiap saat bisa hilang kendali.

Mengangkat wajah, Diandra memberanikan diri menatap suaminya. Sangat tampan, memempesona, dan juga terlihat mapan bagi perempuan yang baru kenal. Tidak heran kalau perempuan bernama Cindy itu menyukai Tommy. Masalahnya adalah pertemuan mereka sengaja diatur oleh Tania dan entah rencana apa lagi yang ada di benak mereka setelah percobaan pertama gagal. Tommy menangkap pandangan istrinya dan tersenyum kecil.

"Kenapa kamu pandangi aku?"

"Sorry, lagi mikir aja," jawab Diandra.

"Mikir soal apa?"

"Kita, tentu saja. Tommy, kenapa memaksakan diri bertahan kalau memang kita nggak mungkin bisa bersama lagi? Kenapa nggak kita akhiri saja?"

"Nggak akan!" Tommy menjawab tegas. "Aku mungkin laki-laki brengsek. Bukan suami yang baik buat kamu dan sering bikin kamu takut. Tapi, aku nggak menyerah untuk membuat pernikahan kita berhasil. Diandra, aku minta maaf kalau sudah bikin kamu takut atau luka, tapi sekali lagi aku bilang, tolong beri aku kesempatan untuk pernikahan kita."

Diandra menuntaskan makannya, bangkit dari kursi menuju wastafel dan mengucurkan air dari kran untuk membasahi pirring. Matanya terpaku pada pancaran air yang membasuh sisa makanan di piring. Seandainya saja semua ketakutan dan kesalahan bisa terhapus dengan mudah seperti halnya air yang sedang mengalir sekarang, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Tapi, bukankah air masih membutuhkan cairan pembersih untuk membantunya? Lalu bagaimana dengan dirinya? Siapa yang bisa membantunya melewati hari-hari pernikahan yang suram kalau bukan dirinya sendiri?

Bagi Diandra, kalau tidak ada Keyano, rumah ini akan sangat sepi. Kehadiran bayi itu secara tidak langsung memberi warna dalam hidupnya. Selain itu, belajar hukum juga membantunya untuk tetap bertahan di bawah tekanan keluarga Tommy. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri dan juga mereka, kalau mampu berdiri di atas kaki sendiri dan tidak mengandalkan suaminya yang kaya. Memang sekarang ia membutuhkan uang Tommy, tapi kelak tidak akan ada lagi kasus seperti itu.

paper CutWhere stories live. Discover now