02

22 3 0
                                    

"Adek kecil." Gadis berambut gelombang keluar dari kamar membawa bekas pecahan mangkuk. "Makanlah dimeja sana. Nanti kakak nyusul—"

Toby menggeleng, tapi suara perutnya tidak bisa menolak. Enggan— ah, Toby memalingkan wajahnya. "Hmm.."

Gadis berambut gelombang tersenyum. Kemudian lanjut membersihkan sisa makanan yang ada dilantai, sesekali menyelipkan rambutnya ke balik telinga.

"Adek kecil kabur dari rumah, ya?" Gadis berambut gelombang menaruh peralatannya ke dapur, berdiri disebelah kursi Toby. "Jangan begitu.. suatu saat Adek kecil akan menyesal."

Toby mengerutkan kening, merasa jengkel. "B-bukan.. kabur!" Jawabnya ketus.

Mereka duduk berhadapan dimeja makan. Sinar matahari masuk dari jendela memantulkan warna bola matanya, rambut panjang bergelombang miliknya tampak berkilau. Toby termenung untuk beberapa saat, tidak menduga kalau makhluk yang dikiranya berwujud seram— ternyata menyerupai gadis berusia 20 tahunan. Kemana perginya sensasi horor itu? Toby mendengus, kecewa.

"Mau?" Gadis berambut gelombang menyendokkan potongan sosis ke Toby lalu terkekeh. "Adek kecil terus lihatin Kakak, karena mau sosis ya?"

Toby kelihatan seperti seseorang yang hendak mengatakan banyak hal, tapi malas bicara. Hanya diam, mengabaikan suapan dari Gadis berambut gelombang yang masih mengambang didepan wajahnya.

"Hehe.. pegal nih," Ucap Gadis berambut gelombang.

Ketika sendoknya menjauh, Toby berdiri dari kursi dan berjalan menuju ke pintu keluar.

"Eh? Adek kecil mau kemana?" Tanya Gadis berambut gelombang. "Kakak kira Adek kecil tidak punya tempat lain—"

Toby langsung menoleh ke belakang. Masker mulutnya digenggam erat.

"Datanglah kapan saja, Adek kecil." Gadis berambut gelombang tersenyum lemah. "Sebenarnya Kakak senang ada orang yang bisa diajak bicara— oh, atau bergurau. Adek kecil suka lelucon?"

Toby tidak menganggapinya. "Dadah..," Ucap Toby sebelum pintu keluar ditutup.

Cuaca diluar berangin, menyapu sisa dedaunan kering dan meniup helai rambut Toby yang tidak pernah disisir rapi. Sorot mata pecundang, kata Masky ketika bangun dipagi hari. Sosok yang gelap nan tenang, bola mata yang mengubur dalam jiwa manusia.

Toby mengejamkan matanya, menghela napas lelah. Kemudian berlari masuk ke dalam hutan, menepis semak-semak belukar.

Toby berhenti didepan aliran air sungai, dia membasuh wajahnya. Dingin. Semakin dingin setelah hari menjelang malam. Kelihatannya Toby mulai mencari-cari dahan pohon untuk dijadikan api unggun. Meraba koceknya sambil menggigil, sekilas dia merindukan suasana dalam rumah, meskipun bukan rumah sesungguhnya, tapi Proxy adalah rumah untuknya kembali.

Percikan api membara sisa dedaunan yang Toby pungut. Lalu diletakannya dahan-dahan kering hingga api cukup untuk menghangatkan badannya malam ini. Matanya terpejam, berusaha tidur disaat suara binatang bergema didalam hutan.

Seekor burung hantu mengepakkan sayapnya, terbang entah kemana. Para jangkrik mengeluarkan suara nyaring, kian bergantian sehingga tidak ada hentinya suara itu terdengar.

Baru setengah masuk ke alam mimpi. Toby mendadak tegang, perasaan was-was membangunkannya dari bunga tidur. Suara penghuni hutan yang sebelumnya ramai dan berisik, mendadak hening. Seakan waktu berhenti, keheningan malam datang tanpa peringatan.

Kunang-kunang beterbangan, tidak peduli jika malam itu terasa aneh bagi Toby. Cahaya redup dari kunang-kunang membantu penglihatan Toby, meskipun hanya sedikit. Hawa dingin menyelimutinya. Dingin, napasnya jadi sesak.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 19 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PsithurismWhere stories live. Discover now