8. Esti Ijin Pulang Kampung

1.4K 23 3
                                    

"Aku berangkat ke bandara sekarang saja," katanya sambil bergerak turun dari ranjang. Napasku masih lagi naik turun karena kelelahan, sehingga tidak mampu menyahut ucapannya. Rasanya beda karena suamiku bisa bermain lebih lama. Ini seperti bukan dirinya dan bukan seperti biasanya. 


"Ini masih siang dan kamu belum makan ikan pesmol pesanan kamu, Mas," kataku. 


"Ada yang harus aku siapkan untuk meeting besok."


"Kamu gak capek? Kamu sangat berbeda hari ini." Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi.


"Tidak, aku merasa biasa saja. Aku duluan bersih-bersihnya ya." Aku mengangguk dan tidak berniat menjawab. Seluruh tubuhku terasa sakit. Tulang ini serasa lepas dari tempatnya karena dua jam bersama Mas Galih. Aku benar-benar tidak bisa bangun dibuatnya.


"Mas bantu aku ke kamar mandi," kataku setengah memohon.


"Aku sudah bilang, Sayang, jangan membuat aku marah." Aku mengangguk. Mas Galih menggendongku ke kamar mandi, bahkan ia membantu membilas badan ini. Suamiku kembali seperti sedia kala dan ternyata memang aku yang berpikir terlalu berlebih-lebihan. Suamiku mencintaiku dan ia tidak pernah menolak jika aku sedang ingin bersamanya. 


Selesai mandi, kami pun makan. Semua hidangan sudah tertata rapi di meja. Namun, aku tidak melihat Esti. 


"Bu, Pak," panggil wanita itu tiba-tiba, hingga aku dan Mas Galih menoleh serentak. 


"Ada apa?" wajah Esti nampak basah. Ia seperti habis menangis. 


"Bu, Pak, saya ijin pulang kampung. Bapak saya masuk rumah sakit dan saat ini tidak sadarkan diri. Apa saya boleh ijin dua atau tiga hari?" aku menoleh pada suamiku. 


"Boleh saja karena saya rasa, pekerjaan rumah tidak terlalu banyak jika kamu hanya ijin satu atau dua hari. Jangan lebih ya, karena kalau lebih dari tiga hari, kamu akan saya potong gajinya. Paham!" 


"Baik, Pak, Bu, terima kasih. Mm ... satu lagi, Pak, Bu, apa s-saya boleh kasbon?"


"Berapa?" tanyaku.


"Dua juta sampai tiga juga kalau ada, Bu. Kalau tidak ada segitu, berapa aja buat tambahan beli obat bapak saya." Esti masih menunduk.


"Satu juta, gimana?" tanyaku. Esti mengangguk sambil tersenyum.


"Terima kasih, Bu. Saya ijin merapikan pakaian."


"Tunggu, kamu mau naik apa?" tanya suamiku. Esti mengentikan langkah, kembali menoleh kepada kami berdua.

Vitamin Stamina Pria di Laci Lemari Pembantuku)Sudah Tersedia Di Play Store) Where stories live. Discover now