9🕌 Jiwa Mahin Raga Neina

31 12 61
                                    


Sudah tiga hari pelayan yang tertusuk itu tidak sadarkan diri. Habibeh sebagai teman sekamar selalu terjaga untuk memastikan apakah sahabatnya masih bernapas. Pasalnya, darah yang keluar dari tubuh gadis itu begitu banyak. Bahkan tabib mengatakan potensi hidup atau sadar kembali hanya beberapa persen. Namun Habibeh selalu berdoa agar temannya lekas sadar.

"Neina... bangunlah! Sudah tiga hari tak ada teman yang bisa kuajak mengobrol." Habibeh merengek sambil mengeluarkan air mata yang susah paya dikeluarkan. Gadis itu cukup ceria dan kuat, berbeda dengan sahabatnya yang pendiam dan mudah menangis. Karena itu saat melihat Neina mendapat musibah, ia hanya bisa tertegun. Meski hatinya sakit, tetapi air matanya susah untuk keluar.

"Neina bangun! Neina... sadar!" Habibeh terus menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya.

Sesaat kemudian Habibeh dikejutkan oleh mata sahabatnya yang langsung terbuka lebar. Gadis yang sedang berbaring itu mengedarkan pandangnya ke kanan dan kiri.

Setelah peristiwa pingsan masal dalam ruang rahasia yang diakibatkan suara jam, kini Mahin terbangun dalam tubuh yang berbeda. Ya... Mahin telah berada dalam tubuh Neina Maheen si pelayan kerajaan yang bertugas mengantar makanan pada para tahanan.

Mahin bingung bukan kepalang saat melihat area sekitar tampak berbeda dengan suasana di kehidupannya sebelum pingsan. Ia melihat seorang perempuan berkulit gelap yang diduga seumuran dengannya.

"Alhamdulillah Ya Allah... akhirnya kau bangun juga!" Habibeh berteriak kegirangan.

Mahin mengernyitkan kening melihat tingkah gadis asing yang sedang duduk didekatnya.

"Kau diam di sini. Aku akan memanggil tabib istana dulu." Habibeh langsung menghilang dari hadapan Mahin.

Mendengar gadis asing itu mengatakan 'tabib istana' Mahin semakin kebingungan. Sebenarnya ia sedang di mana? Siapa gadis yang terus menyebutnya dengan panggilan Neina? Dari mana orang itu tahu bahwa namanya adalah Neina Mahin? Seingatnya, hanya almarhum sang ayah yang sering memanggilnya dengan sebutan Neina.

Beberapa saat kemudian, perempuan dengan bulu mata lentik yang semula pergi kini kembali bersama beberapa orang. Setidaknya ada lima orang yang ikut bersamanya dan salah satunya seorang tabib.

Mahin mengikuti instruksi sang tabib untuk dilakukan pemeriksaan. Ia terkejut mendapati perutnya terluka parah. Beruntung lukanya sudah tertutup rapat. Hanya saja belum kering. Hal yang membuatnya aneh, kenapa bisa ada bekas tusukan dalam perutnya? Seingat Mahin, ia pingsan di dalam ruang rahasia bersama beberapa mahasiswa Universitas Baghdad lainnya.

"Luka Neina sudah mulai membaik. Satu atau dua hari lagi mungkin akan kering. Ini benar-benar kuasa Tuhan. Prediksiku ternyata salah." Tabib itu melihat ke arah Mahin. "Neina... kau harus banyak-banyak bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan kesempatan hidup lebih lama."

Mahin hanya mengangguk. Sebenarnya ia bingung. Orang-orang di sekelilingnya menggunakan Bahasa Arab yang jarang ditemuinya, tetapi kenapa ia mengerti maksud mereka? Sebenarnya ia sedang ada di mana? Siapa juga orang-orang yang sedang bersamanya sekarang?

Setelah orang-orang bergantian mendoakan Mahin dan senang atas kesembuhannya, mereka kembali mengerjakan tugas. Tinggal Habibeh dan dirinya yang ada di kamar.

"Dari mana mereka tahu jika nama depanku ini Neina?" tanya Mahin pada Habibeh.

Habibeh terkekeh mendengar pertanyaan tersebut. "Ya ampun Neina... kamu baru sadar dari koma setelah tiga hari, jadi melantur begitu. Sudahlah... kalau begitu aku akan bertugas. Janjiku pada Ibu Suri akan kembali bertugas jika kau sudah sadar."

Mahin mengernyitkan kening. "Ibu Suri?"

"Ya... Ibu Suri Zubaidah!"

"Sebentar... jangan dulu pergi," pinta Mahin.

Mahin Dalam Jeruji Kota Baghdad [END]Where stories live. Discover now