3| Sketchbook

660 112 20
                                    

Taufan suka menggambar.

Halilintar mengetahui itu beberapa Minggu kemudian, setelah hubungan mereka terus maju sebab makan siang bersama setiap jam istirahat tiba. Bertukar air minum, dan mencari tahu kesukaan masing-masing.

Taufan itu suka dengan minum jus buah-buahan segar seperti apel, melon dan semangka, namun tidak menyukai yang berbau tomat kecuali saus tomat. Kemudian Halilintar akan bertanya-tanya, kenapa bisa menjadi seperti itu? Sang anak hanya mengangkat bahu.

“Rasanya aku mual setiap meminumnya. Tapi ketika mencolek sausnya, aku baik-baik saja.” begitu jawaban Taufan.

Tapi Halilintar tidak ingin ambil pusing. Jadi ia menyingkirkan tomat begitu saja jadi daftar 'apa yang disukai Taufan'.

Kemudian, Halilintar mencoba mengingat-ingat kembali semua yang Taufan katakan padanya.

Bahwa ia suka dengan buah-buahan kecuali tomat, bahkan yang kecut seperti lemon pun ia suka.

Ia suka sayur yang tidak meninggalkan jejak pahitnya.

Ia suka dengan makanan yang berbumbu cukup kuat.

Ia suka dengan nasi yang padat, tidak begitu lembek tidak juga terlalu keras.

Ia kurang suka makanan penuh dengan lada.

Ia suka membenahi suasana hatinya yang down dengan makanan manis seperti dessert. Tapi melihat buku sketsa juga membangkitkan semangatnya.

Ia kurang suka susu dengan rasa kelapa.

Ia paling suka dengan minuman yang memiliki rasa.

Ibunya selalu mengingatkannya untuk minum vitamin setiap pagi. Taufan tidak begitu suka obat, namun jika vitamin itu memiliki rasa asam, dengan senang hati Taufan meminumnya.

“Kalau menghabiskan waktu, biasanya kau melakukan apa?” pertanyaan selanjutnya Halilintar lontarkan.

Tanpa basa-basi, Taufan segera menjawabnya.

“Aku suka menggambar.”

“Benarkah?”

Taufan mengangguk. “Meski kata orang gambarku tidak bagus, tapi menurut ibuku, rasanya seperti melihat karya sejati.”

“...” Halilintar diam. Bingung ingin membalas. Ia bukan orang yang pandai memberikan kata-kata manis untuk meyakinkan seseorang dari kerendahan diri mereka. Wajah masam milik Taufan, meski sesaat, Halilintar dibuat tak nyaman.

Akhirnya anak itu membalas, “Oh ya? Biar kulihat karya sejati milikmu itu.”

Ucapannya membuat Taufan tertantang.

Beberapa hari setelahnya, tepat di siang hari, saat matahari bersinar cerah di pertengahan langit. Saat itu jam pelajaran keenam diisi dengan waktu bebas, sebab guru-guru sedang mengadakan rapat.

Taufan menggeser kursinya mendekat pada Halilintar yang menaruh perhatian penuh padanya. Didasari rasa penasaran yang tinggi, ia berpangku dagu, menanti Taufan untuk membuka sebuah buku sketsa miliknya yang sedikit kotor dan berantakan, seolah buku berukuran A5 itu senantiasa dibawa kemana-mana oleh pemiliknya untuk dipakai kapan saja dan dimana saja.

Dari awal melihat, Halilintar sudah bisa melihat betapa Taufan menyukai buku sketsanya.

Kemudian anak itu membuka bukunya, lembar demi lembar. Memamerkan semua hasil karyanya pada Halilintar yang tercenung di tempat dengan mata melotot lebar.

“Astaga...” satu kata itu lolos tanpa bisa ditahan-tahan. “Hey, bukankah kau sangat berbakat?”

Seiring Taufan terus memperlihatkan karya di buku sketsanya, Halilintar tidak bisa menahan diri untuk tidak merebut buku anak itu dan melihatnya lebih dekat.

Betelgeuse [HaliTau]Where stories live. Discover now