25 | Perlahan Kembali

129 32 12
                                    

Jakarta.

Bagaimana bisa langkahnya bisa sampai di tengah-tengah ibukota Indonesia? Lahir di sebuah daerah kecil, dari keluarga yang bisa dibilang tak harmonis, dari semua hal yang diatur ayah, dari tidak kepedulian bunda, dan dari segala hal sakit yang pernah ia terima. Bukan bermaksud berperan sebagai satu-satunya korban, namun bukankah kita semua pernah merasa menjadi korban atas hal jahat yang kita alami?

Dari semua rangkaian masa lalunya yang gelap, perlahan merangkak ke satu celah terang untuk berpijak. Mengenyam pendidikan meski dikecam sang ayah atas pemaknaan perempuan, menjadi financial independen woman meski pas-pasan, dan jatuh cinta pada seseorang yang memang ia suka meski nggak jelas alurnya.

Langkahnya lebih bebas, jalannya lebih luas, meski terkadang rindunya akan tanah ibu masih membekas.

Namanya Kinanti Antares. Kata sang nenek berarti seseorang yang kelak akan mampu menuntun hidupnya sendiri pada keadaan yang paling terang. Layaknya Antares sang bintang paling terang di galaksi kita.

"Di Jawa, Kinanti itu asalnya dari bahasa kanthi, yang artinya menuntun. Bahkan termasuk ke dalam salah satu tembang macapat, liriknya juga tentang tuntutan atau nasehat. Nama ini yang ngasih nenek gue. Dia bilang, berharap suatu saat bisa jadi orang yang punya tekad untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Ya walaupun sekarang nggak sesuai sama ekspektasi beliau." cerita Kinan.

"Macapat tuh apa?" tanya Fabian sembari matanya tak lepas dari laptop.

"Lagu tradisional di Jawa. Ada 11 macam, salah satunya kinanthi."

"Kenapa ada 11?"

"Nggak tau. Kata nenek gue pakemnya gitu."

"Pakem itu apa?"

"Bahasa enaknya tuh kayak aturan main lah. Gimana cara bikin lagu mulai dari rima, ritme, sama pemilihan kata yang cocok sama sastra Jawa."

Si elektro membulatkan mulutnya. Melepas fokus dari layar yang membuat otaknya ngebul.

Lepas maghrib di teras rumah milik Fabian. Haha, Kinan nggak berekspektasi akan berkunjung ke sini lagi.

Rumah itu kosong. Hanya mereka berdua. Fabian bilang, ayahnya sedang sibuk di Yogyakarta, sementara sang mama yang berprofesi sebagai model sibuk berkelana dengan beberapa undangan brand. Eri, sang adik belum pulang.

"Nama lo cantik." komentar Fabian.

Kinan tak menanggapi. Matanya sibuk melihat tanaman bunga yang meliuk tertiup angin di depan teras.

"Entah bagian mana yang lo bilang belum sesuai ekspektasi arah hidup, tapi bukannya kita lagi dalam perjalanan ke arah sana?" imbuhnya.

"Sabar ya, cantik. Nggak ada sesuatu yang instan. Kita lagi transit di DC Cakung, nanti kalau udah sampai tujuan pasti ketemu indahnya dimana."

Nggak niat bercanda, tapi Kinan tertawa. Membuat senyum Fabian menguar juga.

"Haha, siapa yang expect mapres teknik elektro ternyata selucu ini?"

"Mapres apa dah? Lawak banget lo."

"Lo merendah untuk nyungsep ya, Bi?"

"Iya. Asal nyungsepnya sama lo. Akan kujalani apapun asalkan berdua."

"Heleh. Basi."

"Diangetin biar nggak basi."

"Lo beda banget sama Fabian Dirgantara semester lalu. 180 derajat sama Fabian Dirgantara yang gue tembak pasca muswa."

"Emang Fabian Dirgantara di era itu gimana?"

Berpikir sebentar, Kinan coba mengingat, "Wajahnya datar, keliatan galak, kalo ngomong sepatah dua patah, egois parah, dingin kayak walk in chiller, kalau lagi berdua sama gue hening kayak kuburan. Mungkin buat dapetin senyum dia harus pakai ilmu hitam dulu alias gue pelet. Bikin bosen."

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang