Bagian - 10

533 74 1
                                    

"Jujur ya, Dar, kalau aku jadi Bapakmu, aku juga bakalan kepikiran buat jodohin kamu sama Raga. Sumpah deh. Pikiran orang tua sesimpel itu memang. Ada laki-laki bujang di depan matanya, yang kebetulan sudah mapan, orangnya baik, sopan, otomatis yang ada di pikiran Bapakmu yo'opo carane ngepek mantu?" Hayu yang baru saja mendengarkan curahan hati Dara justru mewajarkan sikap ayahnya. (Bagaimana cara menjadikan dia sebagai menantu?)

"Ck, ngawur!" Bantah Dara sambil mengibaskan tangannya.

"Beda lagi kalau kamu sudah punya suami. Ya nggak mungkin Bapakmu masih sibuk cariin kamu laki-laki buat dikawinkan sama anaknya toh. Kecuali kalau Bapakmu kurang puas sama menantunya dan mau cari yang lebih kaya, itu bisa jadi sih!"

"Nggak lucu, Buk! Kenapa kamu jadi receh begini sih?!" Dara geregetan.

"Biar nggak terlalu serius, Buk! Lihat deh, ekspresimu sudah seperti emak-emak kurang orgasme."

"Astaga, Hayu!" Teriak Dara kaget. "Kamu banyak berubah setelah nikah. Jadi ngeri deh aku."

"Jadi penasaran sama Raga yang sekarang. Pasti bentukannya jelas gagah dong, ya. Secara dia polisi." Hayu menyeruput matcha lattenya sejenak, lalu kembali menatap Dara yang duduk di depannya. "Kamu ada fotonya nggak?"

Dara menghentikan gerakan tangannya mencomot kentang goreng, lalu merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kayaknya sih ada di instagramnya Prof Asga. Waktu itu beliau minta foto bareng pas masalah sudah kelar dan kami akan pulang. Foto di depan kantor polisi."

"Mana, lihat!" Hayu menerima benda pipih yang diulurkan Dara. "Ya ampun, ini Raga?! Ganteng banget, Dar. Keker, ya. Laki banget gitu. Kulitnya eksotis pula, persis seperti Panji."

"Seleramu banget, ya?" Cibir Dara.

"Pada kenyataannya seleraku belum tentu yang terbaik buatku. Ternyata jodohku sama cowok rumahan berkulit tanpa noda. Its okay, tak masalah. Sudah ada bukti cinta kami." Hayu menunjuk perutnya yang buncit. "Ku pikir kamu juga bakalan bernasib sama sepertiku."

"Dih, apanya?" Dara pura-pura tak mengerti. Yang jelas, antara dirinya dengan Raga sampai kapanpun tidak akan ada hubungan yang lebih daripada seorang teman di masa lalu.

"Siapa tahu, Raga itu memang jodohmu." Cetus Hayu. "Aku aja masih ingat segimana terobsesinya kamu sama dia waktu SD. Kalau nggak salah, kamu bahkan sampai mogok sekolah beberapa hari kan, waktu ditinggal dia pindah?"

Dara mengakui itu. Dalam konteks cinta monyet, Raga memang cinta pertamanya. Dara memiliki memori cukup seru untuk dikenang saat bersama Raga. Tapi, cinta yang Dara rasakan pada Raga jelas-jelas hanyalah cinta anak kecil. Sebuah perasaan yang terpupuk karena terbiasa bersama. Bukan atas dasar debar jantung dan rasa penasaran pada lawan jenis. Dara sudah lupa rasanya mencintai di versi usia yang bahkan belum genap sepuluh tahun. Tentunya pasti sangat rapuh, karena belum menggunakan emosi secara maksimal.

"Memang sih cintamu sama Raga nggak bisa disamakan dengan cintamu sama Gabriel." Lanjut Hayu.

"Itu tahu! Cinta monyet, cintanya bocah umur tujuh tahun." Dara menjabarkan.

"Aku juga sedih banget pas Panji meninggalkan panti asuhan karena akhirnya ada yang mengadopsi. Tapi, nggak separah kamu. Palingan aku cuma nangis sehari, terus besoknya sudah ceria lagi. Anak kecil kan begitu. Beda lagi sama yang aku rasakan pada Panji pas sudah dewasa. Lebih ke banyak hal." Lalu Hayu mendesah. "Makanya, masa anak-anak itu bisa dikatakan masa-masa tanpa beban. Anak kecil mudah banget buat move on dan memaafkan. Nggak kayak orang dewasa yang gampang menyimpan dendam dan susah mengatasi sakit hatinya."

"Perasaan tadi aku minta ketemuan buat aku jadiin tempat curhat deh. Kenapa sekarang jadi kebalik sih?!" Dara yang sudah sangat buntu akan permasalahan hidup, akhirnya membutuhkan seseorang untuk menampung kesedihannya.

"Nggak ada salahnya kita saling curhat dong!" Hayu menghela napas. "Hem, kalau pada akhirnya nanti jodohmu adalah Raga, sedikit banyak kamu pasti akan ngalamin seperti yang aku rasakan."

Dara mengerutkan kening. Meski yang dikatakan Hayu belum tentu terjadi padanya, tapi tidak ada salahnya Dara mencari tahu maksud dari ucapan tersebut. "Contohnya seperti apa?"

"Aku nikah sama Lingga itu benar-benar belum ada perasaan sama sekali. Ada mungkin simpati, karena Lingga sudah baik banget sama aku. Sedikitpun cinta nggak ada. Bahkan yang aku rasakan saat itu, aku masih sangat mencintai Panji, sampai setelah aku jadi istri Lingga. Gimana tuh? Parah banget kan aku? Tapi memang nggak semudah itu berpaling ke lain hari, Dar." Hayu menghentikan kalimatnya, dan menatap Dara instens. "Saat malam pertama, kalau diingat-ingat sekarang, aku merasa sangat bersalah sama Lingga. Aku nggak ada gairah sama sekali saat disentuh dia. Yang pada akhirnya aku terpaksa ngebayangin Panji, supaya aku bisa ngimbangin perlakuan Lingga dan biar aku nggak terlalu kaku."

Bulu kuduk Dara sontak meremang saat mendengar kenyataan yang dialami Hayu saat menikah dengan lelaki yang mungkin pada saat itu belum dicintainya. Dara seolah bisa merasakan susahnya di posisi Hayu yang harus menjalani perannya sebagai seorang istri dan kodratnya.

"Susah banget, Dar, disentuh sama orang yang nggak kita cinta. Kayak rasanya tubuh kita mata rasa. Itu aku rasakan sampai berbulan-bulan lamanya." Lanjut Hayu sembari menerawang.

"Berapa lama?" Akhirnya Dara menemukan suaranya kembali. "Berapa lama sampai kamu akhirnya bisa menerima Lingga sebagai suamimu?" Tanyanya penasaran.

"Cukup lama." Jawab Hayu. "Sampai sekarang bahkan kalau aku baru saja ketemu Panji, pasti otak dan pikiranku error lagi tuh. Kami kan masih sering ketemu juga, kalau dia lagi sambang ke panti. Apalagi kalau dia sudah ngajak istrinya, dan mesra-mesraan di depanku, rasanya aku pengin mengubur diri."

Dara meringis. "Memangnya kamu masih ada cemburu?"

"Ya iyalah, Dar. Cemburu banget aku. Wong dulu yang biasa dipegang-pegang Panji itu aku kok. Sekarang jadi pegang-pegang cewek lain. Ya jelas cemburu banget aku. Tapi memang nggak separah pas awal-awal sih."

"Susah juga ternyata jadi kamu." Gumam Dara. "Kalian masih sering ketemu karena kalian saudara dari panti. Akan lebih mudah jika Panji itu orang lain dan nggak ada hubungannya sama keseharianmu. Sayangnya kamu masih harus berurusan terus sama dia."

"Makanya itu!"

"Sabar, ya."

"Basi! Nasihat klise!"

"Sabar untuk kita." Dara menegaskan. "Setidaknya kamu sudah satu langkah teratasi. Kamu sudah punya suami dan sekarang lagi nunggu hadirnya bayi kalian. Sementara aku? Semua masih abu-abu."

Hayu mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan Dara. "Kamu juga akan segera menyusulku. Percaya sama aku bahwa rencana Tuhan itu yang terbaik. Kamu cukup banyak berdoa saja. Kalau Gabriel memang jodohmu, dia pasti akan segera ngelamar. Tapi kalau tidak, kamu akan dapat penggantinya yang lebih baik. Mungkin awalnya kamu belum merasakan hikmah, dan pasti akan ngerasa dipaksa oleh takdir. Tapi, lambat laun kamu akan mulai belajar, dan menerima semuanya dengan legawa. Percaya sama aku."

-INFO-
Di Karyakarsa sudah masuk konflik. Silakan melipir, Gaes!🤗

Terikat Janji (TAMAT)Where stories live. Discover now