41. Undangan bertemu

3.9K 268 2
                                    

Oci memijat pelipisnya sejak tadi. Kepalanya pusing setelah membaca ratusan lembar naskah milik salah satu penulis yang ia pegang. Ia melirik jam di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi tidak ada tanda-tanda Radhit akan kembali ke kamar. Mereka berdua sama-sama sibuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Jika bisa dihitung, dalam seminggu mereka hanya bertemu saat berangkat dan pulang. Setelah sampai di rumah mereka akan kembali bekerja. Saat malam Radhit selalu kembali ke dalam kamar ketika Oci sudah tertidur.

"Kok belum tidur?" Oci menoleh mendapati Radhit yang masuk ke dalam kamar.

"Mau nyelesaiin ini dulu, tinggal sedikit," ujar Oci menunjuk laptop yang ada di depannya.

Radhit berjalan menuju Oci, mengambil laptop di meja yang berada di atas kasur.

"Eh, mau di bawa kemana?" tanya Oci sambil menarik ujung kaos Radhit.

"Tidur, Ci. Lanjutin besok di kantor," ujar Radhit yang telah berhasil mematikan laptop milih Oci. Ia kembali ke arah Oci, mengambil meja di depan Oci dan melipatnya.

"Tinggal dikit, loh, mas. Biar besok pagi bisa lanjut ke naskah lain," ujar Oci sedikit kesal.

Radhit menghela napas pelan, "Ci, inget, kamu sekarang udah nggak sendiri. Anak kita capek kamu ajak kerja terus," ujarnya. "Dulu kamu boleh sampe nggak tidur karena nyelesaiin kerjaan, tapi sekarang enggak," lanjutnya.

"Kamu tau kan sekarang alasan aku nggak mau hamil dulu? Aku takut pergerakanku terbatas kayak gini," ujar Oci terlampau kesal.

Sejak dulu ia bukanlah orang yang bisa menunda pekerjaan. Jika tidak sampai masuk rumah sakit, ia tidak akan berhenti bekerja. Karena bagaimanapun bekerja adalah pelampiasan saat ia mengingat kembali trauma masa lalunya.

Radhit tahu Oci memang sedang sensitif dan lelah, tetapi ucapan Oci cukup membuat hatinya tersentil, "Aku nggak membatasi kamu, aku cuma mau jaga kamu sama anak kita. Ini udah malem banget, besok kita harus kerja pagi dan kamu harus tidur cukup," ujarnya.

Oci terdiam. Tanpa berkata apapun, ia membaringkan tubuhnya di kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Radhit hanya menghela napas lalu mengusap puncak kepala Oci dengan lembut. Ia harus segera kembali ke ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Nggak papa kalau mau marah, tapi jangan lama-lama. I love you," bisik Radhit sebelum keluar dari kamar.

***

Kenyang. Satu hal yang mampu membuat Oci berbunga. Semenjak hamil, makan adalah hobinya. Ia baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama Hana.

Hubungan Oci dengan Radhit sudah baik-baik saja, lebih tepatnya mereka tidak punya waktu untuk bertengkar. Mereka memiliki banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

"Ci!" panggil Jessica yang seperti baru saja kembali dari makan siangnya.

"Happy banget yang habis pacaran," ujar Oci kepada Jessica yang kembali dengan wajah bahagia.

"Udah dua minggu nggak ketemu cowok gue terus tiba-tiba dia bilang kalau mau ke rumah, ngobrol sama orangtua gue. Seneng banget, Ci. Gue kira dia main-main aja," ujar Jessica dengan semangat.

Oci tersenyum, "Semoga cepet nyusul, mbak."

Jessica mengangguk, "Padahal dulu gue ngerasa nggak mau nikah tapi lama-lama pengen juga punya support system di rumah."

Our Traumas [End]Where stories live. Discover now