Prolog

16 2 0
                                    

Di malam berangin itu, pintu-pintu dan jendela tertutup sebegitu rapat. Kota yang mengelilingi istana central nampak gelap nan sunyi, anak-anak yang mengintip dari balik tirai pun menarik mundur tubuh mereka, bersembunyi dibalik selimut tebal. Orang-orang dewasa mengunci rapat rumah mereka dengan tak tenang, rasa kantuk yang sedari tadi menggerogoti nyaris tak terasa.

"Periksa anak-anak." Perintah seorang pria paruh baya di salah satu rumah tengah kota itu. Istrinya yang sedari berdiri diam di belakangnya mengangguk pelan dan beranjak. Si pria terus memantau jalanan di luar tirai, dimana lampu-lampu yang berjajar berkedip dan dedaunan kering tersapu terbang oleh angin.

Sudah beberapa bulan, bahkan lebih dari setahun semenjak kegelapan melewati perbatasan yang pecah, diikuti dengan cuaca yang berubah-ubah tidak sesuai musimnya, menyebabkan beberapa kali gagal panen. Meski mereka, para rakyat telah menyampaikan kegelisahan ini kepada para bangsawan, sejauh ini pergerakan yang dilakukan oleh para penjaga tidak membuahkan hasil yang berarti.

Pria itu pun mengalihkan pandangannya ke salah satu menara yang mencuat tinggi di antara bangunan kota "Yang mulia..." Ia bergumam pelan sebelum kembali menutup tirai.

Lampu-lampu di istana yang megah itu sendiri nampak temaram di antara kabut yang turun, para penjaga yang berdiri di setiap sudut bergidik ngeri setelah merasakan terpaan angin malam kecil di kulit mereka. Sesekali mereka bertukar pandang, menyampaikan kegelisahan yang tak dapat mereka pendam.

Diantara jendela yang gelap, salah satunya terlihat menyala, menunjukkan aktivitas yang masih berjalan di lewat tengah malam itu. Di dalam ruangan yang luas yang sedikit berantakan, seorang pria muda duduk di depan meja kerjanya, penanya bergerak cepat bersamaan dengan matanya yang melirik ke sana kemari pada kertas yang berbeda-beda.

Setelah merasakan tangannya bergetar samar, ia pun menjatuhkan penanya dan menyandarkan diri kebelakang. Dengan helaan nafas berat ia memandangi ruangannya, tumpukkan kertas berserakan di mana-mana, dan buku-buku tak pada tempatnya. Pria itu memejamkan matanya namun kembali terbelalak ketika mendengar pintu di depannya terbuka.

Seorang wanita mengintip dari celah pintu kearahnya "Disini kau rupanya, kucari di kamar tidak ada."

"Kak Micah." Pria itu tersenyum kecil saat melihat wanita yang merupakan kakak satu-satunya itu menghampirinya "Belum tidur?"

"Kutanyakan hal yang sama untukmu." Micah mengambil salah satu kertas dan membacanya dengan alis bertaut "Ya tuhan, marquess Barley tidak menyerah juga, seakan keadaan kerajaan sekarang belum cukup kacau."

"Justru aneh jika dia hanya diam, lebih baik ia membuat gerakan terang-terangan seperti ini." Pria itu bangkit dari tempat duduknya menuju ke sebuah ruangan kecil yang terhubung "Duduklah, kubuatkan teh."

Setelah mengambil beberapa lembar lagi, Micah menjatuhkan dirinya ke sofa "Permintaan dana tambahan untuk menanggulangi kerugian gagal panen di perkebunan teh." Micah mencemooh "Si gila ini, kupikir ia bisa lebih baik dari ayahnya, ternyata sama bodohnya."

Tak lama kemudian pria itu kembali dengan nampan teh dan manisan di tangan, setelah meletakkannya di atas meja ia pun duduk di sebelah Micah dan mengintip bacaannya "Marquess Barley, yang kemarin tidak datang di pertemuan bulanan."

"Aku tidak yakin apakah kedatangannya dibutuhkan, terakhir kali kulihat ia hanya bersandar dengan wajah kosong di tempatnya." Micah melihat halaman lainnya "Skandal yang dilakukannya sudah menjadi rahasia umum, rakyat pun mengeluhkan kinerja nya sebagai bangsawan kelas atas, menyedihkan."

"Aku sudah meminta Louisa menyelidiki lebih dalam untuk mendapatkan bukti, besok kami akan membahasnya setelah rapat siang." Pria itu menuangkan teh.

Story of The Night SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang