Chapter 4. [A]

196 5 3
                                    

Nisrina POV

Tengah malam aku terjaga. Merasakan kulitku tidak sengaja bersentuhan dengan kulit telanjang Mas Fazwan. Awalnya biasa saja sebelum aku menyadari ada yang aneh, terasa hangat. Membuatku seketika membuka mata, memastikan sesuatu dan yang aku lihat malah muka pucat Mas Fazwan.

"Ya ampun, Mas? Kamu sakit?" tanyaku seketika duduk. Memeriksa suhu tubuh Mas Fazwan menggunakan telapak tangan bagian belakang.

"Dingin banget," jawab Mas Fazwan dengan mata yang masih tertutup bibir bergetar.

Spontan aku yang mulai panik langsung menarik selimut. Masih jam satu dini hari. "Kamu ada persediaan obat demam nggak?" tanyaku. "Biar aku ambilin."

Aku turun. Mengambil kotak p3k di ruang keluarga. Buru-buru kembali merawat Mas Fazwan yang kelihatan makin pucat aja.

"Minum obatnya dulu, Mas." Dengan telaten aku mencoba membantu Mas Fazwan duduk.

Beruntung Mas Fazwan gampang nurut. "Pait pasti," keluhnya sambil menutup mulut menggunakan kedua tangan. Tidak menyangka Mas Fazwan ternyata anti sama yang namanya obat. "Gerusin dong, Yang. Pakai air gula gitu biar nggak pait."

Aku hanya menggeleng tidak percaya. Persis anak kecil.

"Bentar aku buatin air gula."

Mas Fazwan tampak merengut. "Jangan lama-lama ya, Yang. Pusing banget."

Aku tidak menghiraukan. Bergegas menuju pantry. Mengambil gelas dan gula, lalu menggerus obat dengan sendok. Padahal kalau aku pikir, malah semakin pahit jika diginikan.

Anak kecilku terlihat tidur di balik selimut. Semakin menenggelamkan dirinya di sana. Aku heran cowok bertubuh besar penuh muscle ternyata malah terlihat seperti anak kecil ketika sedang sakit.

Aku menarik selimut, membiarkan wajah Mas Fazwan terlihat di balik selimut. Muka kedinginan dan juga pucatnya begitu terlihat. Aku tidak tahu sejak kapan dia sakit. "Minum dulu obatnya, habis itu tidur." Aku mengulurkan sendok berisikan gerusan obat ke mulut Mas Fazwan. Dia cepat menggeleng, penuh penolakan.

"Pahit nggak?" tanya Mas Fazwan. Sifat anak kecilnya kembali muncul. Sambil mencari posisi duduk yang nyaman, dia mengamati sendok di tanganku. "Mana air gulanya?" Segera aku perlihatkan gelas berisikan air gula.

Aku jelas menghela napas. Apalagi ketika Mas Fazwan tiba-tiba meraih sendok yang aku pegang. Menaruh obatnya dengan cepat ke air gula.

Meskipun begitu Mas Fazwan pelan-pelan meminum air gula. Seolah ada racun di dalamnya. Aku hanya bisa menggeleng tidak percaya. Segininya orang kalau takut sama obat. Aku rasa Mas Fazwan juga bakal merengek kalau mendapat suntikan dari dokter. "Dihabisin. Biar obatnya masuk semua," pintah gue ketika mendapati Mas Fazwan ingin menaruh gelas. Padahal sekitar satu sampai dua teguk dia minum.

"Enggak enak, Yang. Ada obatnya," protesnya merengek. "Biarin aja di situ nanti juga bakal keminum." Tidak tahan aku segera meraih tengkuk Mas Fazwan. Lalu memaksanya untuk minum. Aku senyum ketika melihat bibir Mas Fazwan cemberut.

Lucu. Aku ingin mengecup bibir manis itu. Duduk berhadapan dengannya seperti ini membuatku tidak bisa menahan diri lagi menggodanya. "Mau cium nggak?" izinku. Aku tidak mungkin tiba-tiba nyosor tanpa izin lebih dulu, apalagi Mas Fazwan lagi sakit.

Mas Fazwan tampak terkejut. Terlihat dari matanya yang tiba-tiba melotot. "Sakit, Yang. Nanti kamu malah tertular loh," katanya. Itu artinya dia mau-mau saja kalau tidak sedang sakit. Tanpa pikir panjang lagi, aku mencondongkan tubuh mengecup bibir Mas Fazwan. Dia hanya diam saja. Mungkin pengaruh sakit. Tidak membalas kecupanku sama sekali. Malah merengek seperti bayi manja.

"Makasih ya, Yang," gumam Mas Fazwan. Terdengar sangat senang meskipun wajahnya sangat datar. Sepertinya pengaruh sakit.

Aku mengangguk. Membantu Mas Fazwan kembali tiduran.

Kami saling tatap satu sama lain. Tatapan Mas Fazwan terlihat sangat sayu. Aku sendiri bingung harus seperti apa. Tidak pernah merawat orang sakit. Jadi yang aku lakukan hanyalah ini. Diam memperhatikan saja. Kali ini mataku tidak lepas dari Mas Fazwan. Takut hal buruk terjadi. Sampai dia memejamkan mata dan aku menaruh tanganku di keningnya.

"Besok ambil cuti aja ya, Yang. Aku takut sendirian."

Makin terdengar aneh. Membuatku malah menyipitkan mata. Kemudian terkekeh sendiri. "Iya adek bayi, Mama nggak kerja kok besok. Mau nemenin adek bayi aja di rumah. Takut demamnya makin tinggi. Malah nangis kejer nanti. Kan Mama jadi takut sendiri," jawabku mengelus rambut Mas Fazwan. Membuatnya terkekeh. "Emangnya kenapa sih adek bayi Mama kok sakit? Masa' kalah sama bisep?" ejekku. "Ada yang sakit lagi nggak? Mau aku panggilin dokter?" tanyaku begitu melihat Mas Fazwan tidak bereaksi apa-apa. Aku takut makin parah. Meskipun pucatnya udah mulai agak berkurang kalau aku lihat.

"Jangan panggil dokter, Yang. Mas nggak papa kok. Cuman capek." Dia bergerak gelisah lagi. Membuatku mau tidak mau memilih untuk merangkulnya. Menaruh kepala Mas Fazwan tepat di dadaku. Suhu hangat di tubuhnya membuat berkeringat sendiri.

"Kamu demam ini loh, kalau nggak panggil dokter nanti malah makin sakit."

Mas Fazwan diam tapi memelukku semakin erat. Kemudian aku rasakan dia menggeleng pelan.

"Kenapa? Takut disuntik?" tanyaku bernada jengkel. Ya kalau kayak gini sampai kapan tidak akan sembuh. "Mas mau nggak sembuh-sembuh? Malah makin parah loh nanti." Aku tahu bujukanku tidak akan dihiraukan. Memaksa untuk pergi ke dokter sepertinya juga percuma. Kecuali kalau Mama Mas Fazwan sendiri yang membujuk. Mungkin bakal beda cerita.

Tangan Mas Fazwan meremas tanganku. "Temenin aja boleh? Besok juga bakal sembuh," gumamnya. "Bener udah baikkan kok setelah kamu cium."

Aku akhirnya diam. Kehabisan kata-kata. Bingung juga harus bilang apa. Suhu badan Mas Fazwan memang agak sedikit turun. Bibirnya juga sudah mulai merah. Meskipun masih sedikit pucat.

"Ya udah yuk tidur," ajakku.

Sekitar pukul setengah enam pagi. Aku lebih dulu bangun. Melihat Mas Fazwan tidur nyaman di dadaku. Waktu aku gerak saja untuk membenarkan posisi tangan yang mulai kebas, seperti anak kecil, Mas Fazwan kembali merengek. Membuatku harus tahan nafas agar dia tidak sadar pergerakan tanganku. Kemudian mengecek suhu tubuh Mas Fazwan dengan telapak tanganku. Dan sepertinya memang agak mendingan. Aku berniat kerja kalau kondisinya memang agak baikan.

Sebelum turun dari ranjang, aku lebih dulu mengecup kening Mas Fazwan. "Aku mau mandi dulu ya. Kalau minta sesuatu tunggu aku balik. Oke? Jangan jalan sendiri," gumamku. Aku tidak tahu Mas Fazwan dengar atau tidak. Tapi aku pikir dia dengarlah. Orang waktu aku mau turun dari ranjang, dia ikut membenarkan posisi tidurnya.

"Jangan lama-lama ya."

Kan dia bangun.

"Sekalian kalau bisa buatin bubur ya, Yang. Kamu cuti kan sekarang? Kamu udah janji loh, Yang, kalau hari ini ambil cuti. Jangan kerja dulu ya. Temenin aku di sini," ujarnya. Mata Mas Fazwan aku lihat masih terpejam. Tapi jelas menyebalkan. Padahal hari ini aku ada jadwal meeting yang cukup penting. Harus aku tunda atau mungkin gagalkan hanya karena Mas Fazwan lagi sakit dan merengek seperti anak kecil.

Setelah mandi, ganti baju dengan pakaian yang lebih santai. Hanya celana pendek dan tank top hitam. Lalu ke pantry untuk mengolah makanan yang bisa dijadikan sup.

"Mas?" panggilku menepuk pelan pipi Mas Fazwan membangunkannya. "Makan dulu."

Dia nggak menjawab. Malah mengganti posisi tidurnya. Udah kelihatan sehat banget.

"Makan dulu biar nggak makin sakit loh." Aku jelas protes. Ya kan? Udah sulit-sulit masakin. Udah ditemenin tidak kerja, eh malah enak-enakan tidur. Disuruh makan malah merengek seperti anak kecil. "Kalau nggak makan aku tinggal kerja loh, Mas!" ancamku saat itu.

Tanpa diminta lagi, Mas Fazwan langsung duduk. Menyandarkan kepalanya di punggung kursi. Bibirnya sengaja dicemberut-cemberutkan seperti anak kecil yang lagi ngambek.

"Dikit aja," katanya waktu itu.

****

~ Selasa, 23 Januari 2024

Mandatory Love [On Going]Where stories live. Discover now