Napak tilas

48 13 0
                                    

"Nad ...."

Suara berat itu membuatku terkejut saat mataku mulai terbuka. Aku mengamati sekeliling ruangan dan mataku langsung tertuju pada dua kantung infus; satu berisi darah dan satu berisi NaCL. Tangan kiriku tertanam jarum infus dengan gelang pink bertuliskan namaku. Suara televisi memenuhi ruangan ini. Aku bermaksud untuk bangun dari tidur. Badanku rasanya kaku. Gilbert membantuku untuk duduk bersandar pada ranjang. 

"Sorry, aku ga bermaksud lancang, tapi udah 2hari kamu pingsan," lanjutnya.

Pria itu duduk di tepi ranjang. Aku berfikir bahwa pertemuanku dengannya adalah halusinasi. Ternyata aku salah.

Dengan ragu, dia menggenggam tanganku, "Nad, aku ga tau apa yang buatmu bisa begini, tapi jika kamu ijinkan, aku siap untuk jadi pendengarmu."

Aku tidak bereaksi. Namun sesuatu yang hangat mulai menjalar di dalam hatiku. Gunung es yang selama ini membentengiku, mulai mencair. Airmata perlahan turun.

Ya, dialah Gilbert Admowidjojo. Putra seorang pastur yang taat. Seorang pria yang selama tujuh tahun menjalin kisah cinta yang sempurna. Gilbert adalah seorang pendengar yang baik, ia juga mampu berdebat namun tidak sering ia juga mengalah. Anak laki-laki pertama dan satu-satunya yang mewarisi darah Admowidjojo membuat kami harus menangisi waktu indah yang tercipta. Ya, perbedaan keyakinan membuat semuanya harus berakhir.

"Nad, jangan nangis,"ucapnya lagi sembari menghapus cairan bening di ujung mataku. Gilbert nampak sedikit panik.

"Aku ga tau harus bagaimana?"

"Let it flow Nad," kata Gilbert kemudian memelukku erat. Pelukannya hangat sama seperti terakhir kali aku merasakannya. 

"Aku tau ini berat, tapi aku yakin kamu bisa," bisiknya lagi.

Sesaat kemudian kurasakan bibirnya mendarat tepat dikeningku, lalu tangannya mengusap rambutku yang berantakan dengan lembut. Seperti biasa, ia membenarkan anak rambutku yang berantakan. Hal yang selalu kurindukan darinya. Ya, aku benar-benar merindukannya.

Tangisku pecah. Gilbert membiarkan tubuhku yg terguncang dalam pelukannya. Yang ia lakukan hanya mengelus rambutku dan mencium keningku berulang-ulang. Gilbert tau, bahwa saat ini yang aku butuhkan adalah pelukan. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Dengan sabar ia tetap memelukku tanpa bertanya ataupun menghakimi.

Aku menangis sejadi-jadinya seakan-akan ini adalah hari terakhir dalam hidupku. Kutumpahkan semua sesak dan sesal yang selama ini menghimpit dadaku lewat tangis. 

Aaaah Gilbert, seandainya engkau tau bahwa sampai saat ini, aku masih mecintaimu, akankah kamu akan bersikap seperti saat ini? Seandainya kamu tau sehancur apa aku saat ini, apakah kamu masih akan bersikap seperti ini? Seandainya kita terlahir sama, apakah sekarang kita sudah menikah? Akankah aku sesakit saat ini? Begitu banyak pertanyaan menghantui pikiranku. Perlahan kututup mata dengan nafas yang terisak, lalu aku tertidur dalam damai.

***

Wanita KeduaWhere stories live. Discover now