Cup 2

306 62 18
                                    

-Sharif-

"Woh, edan, Abang satu ini. Pagi-pagi gini yang suka postingannya seribu lebih padahal cuma posting teh," komentar Kartika seorang sersan satu yang seumuran denganku dan kami dekat sejak aku masuk satuan. Secara lamanya bertugas, dia seniorku, pengalamannya di lapangan juga lebih banyak, tetapi secara hirarki aku adalah atasannya karena pangkatku lebih tinggi,

"Aku kudu sombong nggak?" sahutku sambil terkekeh.

"Kayaknya hokimu memang gede, Let," tambah Kartika tak habis pikir, "Sudah dinasnya dekat sama rumah, ganteng, eh pengikutnya banyak. Kenapa nggak terima endorsan sih?"

"Aamiin, makasih," ucapku tulus sambil menepuk bahunya, "nggaklah kalau iklan serius gitu. Biar itu rezekinya yang lain saja endorsannya. Kalau bantu teman, sih, oke saja."

"Mantap!" Kartika menepuk bahuku sambil terkekeh lalu menyeruput kopinya hingga tuntas.

Usai sarapan, kami segera ke kesatrian. Memulai hari yang seperti biasanya atau mendapatkan kejutan? Kami hanya harus terus bersiap dan siap untuk apa pun itu.

Saat menuju kesatrian, aku berpikir apa yang diucapkan oleh Kartika ada benarnya. Mungkin rezekiku besar. Aku ditempatkan di dekat rumah orang tua, punya banyak teman bahkan di dunia maya pun punya pengikut bak artis sampai mendapatkan tawaran endorse cukup banyak dan tak sedikit yang menggiurkan, orang tua yang berkecukupan, fisikku juga lumayan. Nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan?

Yah, itu sih kalau mau berhitung tentang hoki dan rezeki, tapi percayalah hidupku tidak semulus itu bahkan tekananku besar. Menjadi bungsu dari seorang ayah pensiunan perwira tinggi yang berprestasi, seorang ibu yang pengusaha, kakak perempuan yang pengusaha dan kakak laki-laki yang tentara ganteng, berwibawa, berprestasi juga pengusaha sejak masa sekolah meski saat ini usahanya dikelola oleh rekannya dan dia fokus dengan pengabdiannya sebagai prajurit TNI angkatan darat.

Semua tekanan itu datang bertubi-tubi dengan harapan aku seperti mereka, belum lagi jiwa-jiwa yang iri hati karena apa yang aku dapatkan dan miliki. Kadang aku ingin teriak atau bahkan menampar satu per satu mulut mereka sampai tak bisa bicara, tapi itu hanya akan semakin memojokkanku. Jadi, ya, sudahlah. Tuhan Maha Tahu, kan?

Di kesatrian, kegiatan kami hari ini hanya kegiatan rutin.

Ketika akhirnya datang waktu isoma, aku membuka ponselku untuk mengecek media sosial. Yang suka sudah sepuluh ribu lebih.

10.375 Suka
denayu Gimana kalau bikin usaha teh sendiri?
adibrata_sharif @denayu modalin, boleh deh.
mithaadibrata Sini, ayok
adibrata_sharif modalin, boleh deh @mithaadibrata.
euis.konita @mithaadibrata setuju, Kak.
k.chandra @adibrata_sharif kami siap jadi tester 👍🏽
adibrata_sharif bayar! @k.chandra
ijul12345 Kami selalu siap, Bang @adibrata_sharif
adibrata_sharif hari gini nggak ada yang gratis @ijul12345 😎

Setelah puas membalas setidaknya beberapa orang yang kukenal, itu juga karena mereka berada di komentar teratas, aku menyimpan ponselku lagi untuk segera bersiap salat dzuhur kemudian pergi makan siang.

"Jul, aku penasaran dari dulu. Namamu, lho, bagus. Jules. Kok bisanya dipanggil Ijul?"  tanya Kartika pada salah satu anggota junior kami yang berpangkat Prada dan usianya lebih muda dua tahun dari kami.

Aku meliriknya yang berjalan di tengah-tengah kami. Ijul ini blasteran timur tengah. Jawa Timur dan Jawa Tengah. Postur badannya sedikit lebih besar dariku dan Kartika yang cenderung ramping, tapi tingginya sedikit lebih pendek dari kami berdua.

"Itu gara-gara waktu kecil ada yang panggil saya Ju-les, Ibu saya kesal. Kan, seharusnya Juls tanpa e. Akhirnya biar gampang Ijul saja. Kata Bapak waktu mau kasih nama dulu, lidah kita susah nyebut Jules yang benar, tapi Ibu terlanjur suka nama Jules. Bapak usul Julio atau Julian saja nggak mau. Sudah jatuh cinta dengan nama Jules. Gitu, Bang," terang Ijul dengan mimik serius, "Izin, Bang, Abang sendiri kenapa namanya Kartika? Dari Kartika Chandra Kirananya Persit?"

MR. & MISS TEAWhere stories live. Discover now