Enkripsi 1 - Hitam Putih

19 2 6
                                    

25 Desember
Entah sudah berapa lama aku melihat langit yang sama di tempat ini. Dibatasi oleh sebuah dinding penghalang dengan dunia luar, jutaan, tidak, milyaran bintang bersinar di hadapanku. Kanvas hitam, tanpa udara dan suara, itulah angkasa yang saat ini kulihat di balik jendela kaca yang telah memantulkan mata unguku.

Tanganku menyentuh kaca. Hampa, kosong, tidak ada suhu yang dapat kurasakan dari sendi-sendi boneka yang kumiliki. Sudah berapa kali aku melakukan ini hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama? Gerakanku kaku, begitu juga dengan emosi yang tertampak di balik pantulan kaca.

Aku memejamkan mata, berbalik seraya mendengar suara langkah sepatuku yang bergema dalam ruangan tempatku selalu terbangun. Setiap kali, setiap saat, dinding berlapis besi yang dihiasi warna keunguan dan perabotan adalah apa yang kusaksikan. Kamarku, rumahku, penjaraku.

Dalam mata yang masih terpejam, aku terus berjalan menuju satu tempat di ruanganku yang tidak perlu dilihat. Tanpa membuka mata, aku duduk dan merasa sebuah dudukan datar yang membuatku membuka mata. Pencahayaan minim, membuka penglihatanku pada sebuah meja kecil. Di atasnya terdapat sebuah teko bundar yang berdebu, jaring-jaring tumbuh tanpa ada habisnya.

Sembari melotot kosong ke arah teko tersebut, aku menyadari ada sesuatu yang bersuara di atas langit-langit kamarku. Mataku naik, memperhatikan bunyi samar dari kipas besi yang tidak pernah pupus.

Mataku beralih dari kipas besi di langit-langit kembali ke meja di hadapanku. Sesaat kemudian, perhatianku tertarik oleh sesosok bayangan yang melintas cepat. Kepalaku menoleh dan mendapati sosok itu menempel pada dinding di sudut ruangan.

Sebuah boneka, persis seperti diriku tetapi dengan mata dan mulut yang buruk rupa. Rambut panjang berwarna ungu cerahnya masih bersih dan berkilau, ornamen pada atas rambut serta gaun yang dikenakannya sangat mirip, tanpa terkecuali. Kepalanya miring dengan kaku, menatapku dengan mata kancing yang memiliki pupil putih yang menyeramkan dalam gelap. Bibirnya yang sobek melengkung membentuk seringai lebar tanpa makna.

Mendadak lebih banyak pergerakan menarik mataku yang berkedut. Satu demi satu, boneka-boneka serupa merayap keluar dari lubang ventilasi di dinding. Mereka menggelantung dan merayap seperti laba-laba, mengitari langit-langit dan dinding kamarku. Suara gerak sendi boneka itu menggema dalam tubuhku yang membeku di tempat.

Semakin banyak yang muncul, memenuhi ruangan dengan keberadaan mereka yang memuakkan. Wajah-wajah buruk rupa itu kini menatapku dari segala penjuru, bisu dan tanpa nyawa. Aku hanya tahu salah satu dari mereka, dan dia sudah tidak lagi ada di tempat ini, menghilang dari naunganku.

Mereka semakin mendekat, mengelilingi meja tempat teko itu berada. Tangan boneka mereka diangkat, mengungkapkan jemari yang sebagian telah menghilang dan sendi-sendi kosong yang masih bergerak tak beraturan.

Aku secepat mungkin memejamkan mata, berharap mereka akan menghilang saat kubuka nanti. Namun ketika kelopak mataku terbuka, wajah-wajah buruk rupa itu masih menatapku dengan mata membelalak. Aku adalah cerminan dari mereka, dan mereka adalah cerminan dari diriku.

Tangan-tangan boneka itu menyentuhku dari segala arah, membelai lengan dan bahuku dengan gerakan kaku. Setiap dari mereka mulai mengeluarkan desisan dan raungan samar seperti suara kotak suara yang telah lama rusak.

Mereka meringkik, mengeluarkan suara bising serupa derit logam bergesekan. Suaranya memekakkan telinga, menggetarkan gendang telingaku. Namun tak satupun dari mereka yang benar-benar menyakitiku. Boneka-boneka itu hanya merayap tanpa henti, mengitari tubuhku. Suaranya yang memekakkan terus bergema di dalam ruangan.

Aku hanya duduk diam, membiarkan tangan-tangan dingin porselen itu menjamah gaunku. Mataku nanar menatap kosong, pasrah menerima belaian mahluk-mahluk buruk rupa buatanku ini.

Sudah pernah kukatakan kalau setiap saat tubuhku tidak dapat merasakan sentuhan apa-apa, hanya sedikit gerakan ketika boneka-boneka dengan wajah terdistorsi ini menyentuhku. Akan tetapi, sekarang aku merasakan sebuah sentuhan hangat, terletak pada telapak tangan kananku yang memegangnya.

Mataku yang tidak fokus seketika melesat pada sebuah benda yang memancarkan hawa hangat tersebut. Sebuah tongkat, tetapi bukan sebuah tongkat yang bisa dimiliki oleh orang-orang yang hidup seadanya sepertiku. Ini ... adalah tongkat kerajaan, yang dapat memanjang dan memendek sesuai kehendak pemiliknya. Berbagai penghiasaan menghiasi tongkat mulia ini, tetapi kemuliaan itu tidak berpengaruh kepada jiwa yang ada dalam diriku, seorang jiwa rendahan. Berhiaskan batu ungu yang bercahaya redup, aku mengingat tongkat kerajaan ini terlalu baik, seperti aku baru saja melihatnya kemarin. Kenangan mengenai tongkat ini membanjiri benakku, semua itu melewati seluruh proses berpikirku yang lambat, memasukkan segala yang memicu sebuah emosi yang tidak waras dariku sendiri.

"Sejak ... kapan?" Suaraku keluar sendiri, termasuk pada kebingungan saat aku menengok tongkat yang saat ini kupegang tanpa sadar.

Tanganku gemetar hebat mengingat dosa dan kegagalanku di masa lampau. Bercak darah terbentuk, mengalir secara berlawanan dari arah cairan pada umumnya. Darah itu bergerak seperti rambatan akar, melilit lenganku yang telah membeku.

Ingatan demi ingatan membanjiri benakku, membuatku merasakan sakit kepala yang luar biasa. Prismaltopia ... tempat indah ini telah hancur berantakan akibat kesalahanku di masa lalu. Dalam dadaku, ada sebuah detakan jantung yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang boneka. Bagaimana aku bisa merasakan itu?

Tongkat itu berdenting jatuh ke lantai saat boneka-bonekaku kembali meringkik nyaring. Suara melengking mereka sangat memekakkan telinga, membuat kepalaku seakan mau pecah. Kamarku berguncang dahsyat. Mata bonekaku melirik barang-barang dalam ruanganku jatuh berserakan disertai bunyi teredam.

Koneksi kesadaranku terhadap badan boneka itu seperti terputus dengan sendirinya. Aku jatuh dari kursi tanpa ada yang dapat kulakukan untuk mencegahnya. Rasa sakit tak tertahankan ini seolah hendak memecahkan tengkorakku. Denging yang menyertaiku mendadak meredam hingga hilang.

Dengan sisa pandangan terakhirku tertuju pada semua wajah bonekaku yang tidak lagi memiliki mata, aku memejamkan mata. Yang terakhir kulihat hanya sebuah kilas balik masa lalu, benang-benang yang mengintari tubuh boneka ini, bagaimana aku bisa terbentuk menjadi seperti ini. Lolongan serigala bergema saat itu, sama seperti ketika gadis itu berlari tanpa henti ketika dikejar-kejar oleh mereka. Akan tetapi seluruh tubuhnya dirobek tanpa habis oleh sekumpulan serigala lapar, menyisakan rasa yang sama seperti yang kurasakan saat ini.

"Pada akhirnya, kendali Vindicasurper kembali dalam genggamanmu." Seseorang berbisik di dunia kosong, menggema untuk ditelan bulat-bulat.

Prismatic XMASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang