08彡Rasa Sakit Kambuh

71 19 0
                                    

Pusing dan berat, itulah yang dirasakan Adnan saat pertama kalinya duduk di sisi ranjang setelah pulang dari pasar malam. Adnan terduduk lemas di pinggir kasur. Energinya seolah-olah tersedot habis setelah bermain tadi. Kalau dipikir-pikir bermain-main dengan istri abangnya sendiri sangatlah seru. Tidak peduli kalau Zein nantinya akan cemburu kesetanan.

Sakit pada kepalanya semakin terasa mendera, Adnan segera membuka laci nakas dan mencari obat yang biasa dikonsumsi untuk mengurangi rasa sakit. “Obatnya mana, ya? Perasaan kemarin disimpan di laci.” Adnan mengeluarkan semua barang yang ada dalam laci.

“Nyari ini?” pandangan Adnan teralih ke arah pintu. Zein. Cowok itu memamerkan plastik putih yang diketahui Adnan itu adalah obatnya. “Sini, manis. Masih butuh obatnya, kan?”

“Bang!” Adnan berdiri. Niatnya hendak mengambil obat itu dari tangan Zein, tetapi pandangannya berkunang-kunang. Akhirnya dia terduduk kembali. “Bang ... balikin ....”

“Saya bakalan balikan kalau kamu mau berhenti dekat-dekat Sheila.” Lengan Zein bersandar pada kusen pintu. “Ayo Adik manis. Sini ambil obatnya.” Zein meledek.

Tangannya meremas kuat sprei kasur. Kepala sakit sekali seperti tengah ditusuk-tusuk paku. Wajah Adnan sudah kelewat pucat. Cowok itu ambruk dan tertidur terlentang di kasur dengan kaki masih menyentuh lantai. “Bang, siniin obatnya. Sakit banget kepalaku ....”

“Ck, ck, ck. Adik manis sakit, ya? Kenapa enggak berobat ke rumah sakit saja? Atau enggak langsung pergi aja nyusul ibumu. Sepertinya itu lebih baik untuk kamu.” Zein terkekeh sendiri. Baginya ini lucu.

“Bang ....”

“Iya, Adik manis?” Zein melangkah mendekat. Melihat hidung Adnan mimisan cowok membelalak. Tadinya dia hanya ingin memberi peringatan. Namun, sepertinya sakit yang diderita Adnan tampak serius.

“An,” panggil Zein merasa takut Adnan pingsan. “Bu! Ibu! Cepat ke kamar Anan!” teriak terdengar panik.

“Ada apa, sih?” Aina datang. Wajahnya tampak menyeramkan memakai masker wajah warna hitam. Zein saja sampai terkejut melihat ibunya sendiri nongol berpenampilan seperti hantu. “Apa?” tanya ulang.

“Astaga, Bu. Bikin kaget saja itu maskernya.” Zein mengusap dada. Jantungnya berdegup kencang saking kagetnya. “Bu, cepat sini. Anan pingsan. Kayaknya dia kumat lagi sakit kepalanya.”

“Sakit apa dia?” Aina mendekat dengan wajah penuh keheranan.

“Entah aku tidak tahu. Bagaimana ini, Bu? Aku takut dia mati.”

“Mati ya kita bersyukurlah. Malas sekali Ibu tinggal bersama dia. Sudah aman-aman selama beberapa tahun dia tidak tinggal di sini. Malah Pak Gino mengembalikannya. Menyebalkan.”

“Tapi, Bu. Kalau Anan mati nanti kita kena tuduh sama warga yang sudah menghabisi nyawanya bagaimana?”

“Tidak akan. Biarkan saja dia. Kalau mati kita bisa mengatakan penyakitnya itu. Dia kan memang punya penyakit yang mematikan. Kamu tak perlu takut begitu.”

Setelah diyakinkan ibunya, Zein menaruh kresek obat tersebut. Kemudian keluar kamar Adnan bersama Aina. Adnan membuka mata sebelah, ingin memastikan Ibu dan Zein masih ada di sini atau tidak. Dirasa aman. Cowok itu bangun lalu mengambil obatnya. Sangat merepotkan memang harus berakting di depan orang-orang menyebalkan seperti mereka.

“Shh, kepalaku sakit banget. Kurang ngajar tuh si Zein. Bisa-bisanya dia tau aku masih bertergantungan dengan obat ini.” Adnan terdiam beberapa detik. Terpikir perkataan Zein tadi. Saya bakalan balikan kalau kamu mau berhenti dekat-dekat Sheila.

“Oh, jadi Bang Zein cemburu selama aku deketin Kak Sheila?” cowok itu terkekeh pelan. “Boleh juga kalo sedikit dipanas-panas.”

••••••

DERSIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang