17.Misi?

346 26 1
                                    

Happy Reading 💙.

*
*
*

"Tidak bisa kah kamu diam sebentar Ziva?! Sudah berapa surat pelanggaran yang kamu dapat akhir akhir ini hah!" murka Denis, saat ini hanya ada Ziva dan Papahnya di halaman sekolah, membuat suasana menjadi panas dan sesak. Sedangkan sahabatnya yang lain ada di tempat yang berbeda dengan orang tua mereka, kecuali Luiva yang sudah pulang terlebih dahulu.

Gadis itu hanya diam mengarahkan matanya ke depan tanpa peduli suara Papahnya yang berterbangan di telinganya.

"Apa dosa saya memiliki anak pembangkang seperti kamu! Bahkan jika di bandingkan Zoya kamu seperti sampah yang tidak ada harganya!" sentak Denis, mata pria paruh baya itu memerah karena emosinya, tanganya mengepal menahan amarahnya. Dia tidak boleh kelepasan di sini.

Gadis itu melirik Papahnya sebelum bertanya, "Papah menyesal memiliki anak seperti Ziva?" Wajahnya memang terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong, di sana ada air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Iya! Saya menyesal telah merawat kamu-."

"Lalu kenapa Papah tidak membunuh Ziva sekarang!" Gadis itu mengambil sebuah pisau di tasnya, lalu melemparkannya ke arah pria paru baya di depannya yang terdiam.

"Bunuh Ziva sekarang maka Papah tidak akan memiliki anak seperti Ziva lagi!" teriak Ziva. Mungkin jika dia mati Papahnya akan senang.

Tidak ada pergerakan dari pria paruh baya itu, tangan yang terkepal mulai mengendur bersamaan dengan air matanya yang luruh. Entah apa yang membuat air bening itu jatuh tapi yang pasti hatinya terasa sakit ketika mengingat perkataanya baru saja kepada putrinya sendiri. Menyesal? Mungkin.

"Kenapa diam? Bukankah Papah tidak menginginkan Ziva? Maka bunuh Ziva sekarang! Bunuh Pah! Jangan hanya diam seperti orang bodoh!" sentak Ziva yang sudah hilang kendali.

Tanpa sepatah kata pun Denis pergi meninggalkan putrinya yang menatap nya nanar, sungguh tatapan itu tidak pernah dia harapkan putrinya keluarkan untuk dirinya.

"Untuk apa di pertahankan hanya untuk di hancurkan."

Gadis itu mengusap kasar air matanya yang luruh, lalu pergi meninggalkan tempat pertengkarannya dengan Papahnya, menyusul para sahabatnya yang sudah melajukan motornya beberapa menit yang lalu.

***

"Kenapa Tuhan membiarkan anak tidak berguna seperti kamu hidup!" Keina mengulang perkataan Papahnya ketika dia di introgasi di sekolah siang tadi.

"Bener, emangnya Tuhan mau apa dari gue?" gumam Keina di balik helm nya. Dengan hati yang gundah gadis itu menambah laju motornya seraya meluruhkan air matanya.

Perkataan Papahnya sangat menembus di hatinya, jika memang orang tuanya tidak ingin dirinya bertahan di dunia ini, maka keinginan mereka akan terkabul sebentar lagi. Pikiran Keina sudah kacau, dia tidak memikirkan apapun selain ucapan Papahnya yang mengitari benaknya.

Motornya berhenti di taman sepi yang tidak berpenghuni, taman terbengkalai dengan danau kotor yang pekat, jika dirinya berhasil masuk ke dalam airnya mungkin tidak akan ada yang bisa menemukannya. Akan lebih memuaskan jika dirinya hilang tanpa jejak di telan oleh pekatnya air danau.

"Maaf Tuhan, Keina menyerah."

Matanya terpejam, kakinya melangkah perlahan mendekati lingkaran yang terdapat banyak air pekat. Bayangan kebersamaan dengan sahabatnya terputar di benak Keina, membuat gadis itu menghentikan langkahnya, lalu tiba tiba bayangan ucapan Papahnya kembali terngiang yang membuat kaki gadis itu melangkah kembali. Bayangan itu berputar secara bergantian hingga akhirnya sepatu gadis itu menyentuh sedikit air danau itu.

Troublemaker girls Where stories live. Discover now