Termasuk Kamu?

37 4 2
                                    

“Ada apa? Lo jadi kan mau traktir kita-kita?” tanya Aziel saat melihat wajah Salman tiba-tiba seperti kekurangan darah. 

“Iya iya, jadi kok,” jawab Salman dengan pasang mata tak lepas dari layar handphone-nya. Ia baca berkali-kali pesan yang ia ketik asal dan tak sengaja terkirim, lalu tak disangka telah terbaca itu berulang.

(Assalamu’alaikum, Bu Nyai. Saya cuma mau tanya, kenapa tadi Bu Nyai menangis? Apa yang membuat Bu Nyai begitu sedih? Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu bersama Abah Thoyfur?)

Berkali-kali Salman menggigiti bibir bawahnya. Kedua lututnya reflek gemetaran dan jantungnya berdegup lebih kencang. Semakin kencang saat melihat tulisan “Ning Maryam is typing” di kolom atas aplikasi whatsapp-nya. 

Pesanan sudah datang. Saat Aziel beserta kedua kawannya yang lain kompak memekik girang dan tanpa babibu langsung menyantap makanannya dengan lahap, Salman justru tiba-tiba kehilangan selera makannya. 

“Mon, roti maryammu tuh. Bayangin aja lo makan Bu Nyai Maryam. Eh—”

“Husss ... nggak sopan! Udah ketularan gendeng Salmon nih keknya.” Zulham serta merta memotong ucapan spontan Aziel. 

Aziel yang belum sempat meralat ucapannya hanya bisa berucap, “Eh .. nggak ... eng ... anu ... gak gitu.”

 “Ck ... ck ... ck ... kelewatan kamu, Mas Boncel. Istighfar, Mas,” ucap Edwin, si penasehat sambil geleng-geleng. 

 “Hahaha ... uhuk ... uhuk.” Zulham menepuk-nepuk dadanya. Ia sampai tersedak mendengar Edwin memanggil Aziel dengan sebutan Mas Boncel. Memang tidak bakat meledek orang si Edwin ini.

 Awalnya seperti santri yang lain, Zulham merasa geli pada Edwin yang selalu menyertakan embel-embel “Mas” saat memanggil temannya. Tapi lama-lama mereka mengerti, kalau lelaki asal Solo itu memang tumbuh dari keluarga yang menjunjung tinggi tata krama dan sangat kejawen. Rupanya lelaki tinggi besar ini dididik sangat baik oleh keluarganya. 

“Minum, Mas. Minum. Makanya kalau makan tuh jangan ngobrol aja.” Edwin mengangsurkan segelas es teh untuk Zulham. Lelaki sipit mirip orang Tionghoa itu segera menyambar gelas es tehnya, lalu meneguknya hingga separuh. 

Salman hanya melirik sebentar makanannya—setangkup roti berbentuk bulat ceper dengan tekstur jaring-jaring. Dia ingin berkomentar, kenapa roti ini bisa dinamai Maryam. Sedangkan bentuknya benar-benar kalah cantik dari Bu Nyai Maryam. Tapi situasi sedang tidak memungkinkan untuk berbicara banyak. Jadi Salman hanya diam. Sesekali mendesis-desis, harap-harap cemas dengan tulisan “Ning Maryam is typing” yang masih tampak timbul tenggelam. Dan hatinya seketika serasa mencelos saat pesan balasan akhirnya muncul.

Ning Maryam

(Wa’alaikumsalam, maaf ini siapa?)

Oke, untuk saat ini Salman bisa bernapas sedikit lega. Apa yang ia khawatirkan tidak terjadi. Nyai Maryam tidak langsung marah-marah seperti dugaannya. Jadi ia pikir mungkin tidak ada salahnya mencoba. Dengan sisa-sisa rasa takut dan khawatir, ia mengetikkan balasan.

Salman Al-Farisi

(Hamba Allah, Bu Nyai)

Ning Maryam

(Iya tahu. Tapi kan setiap hamba itu punya nama)

Salman Al-Farisi

Bagai Pungguk Menjerat BulanWhere stories live. Discover now