OO1

27 2 2
                                    

Seperti yang beredar di laman buku online atau cerita-cerita fiksi karangan penulis, Paji itu ibarat tokoh yang diciptakan saat Tuhan sedang bahagia. Pasalnya, lelaki itu bisa dibilang cukup menarik. Rambutnya rapi teratur, se-teratur Nala saat menghabiskan waktunya untuk selalu mengagumi Paji. Matanya yang memiliki sejuta ekspresi, seperti ketika Nala memuntahkan semua reaksi saat ia berdegup sewaktu mengagumi Paji. Pipinya yang gembul (kalau kata Nala), segembul dan mungkin saja rasanya selembut bakpao jika ia berkesempatan untuk menusuk pipi mulus itu.

Mungkin, selembut bakpao, bisa jadi, 'kan? Untuk sekarang Nala hanya masih sebatas merasakan permukaan bakpao yang barusan ia beli. Nala akan berjanji, suatu hari pasti ia bisa menguasai kedua pipi itu untuk diapa-apakan.

Maksudnya dicubit dan diuyel-uyel.

"Udah ah, ngeliatin Paji-nya begitu amat. Yang lain juga pada ngantri nih, lu ntar didorong-dorong kalo gamau nyingkir." Hanya dalam sejenak saja, senggolan lengan dari Zia memecah seluruh imajinasi lucu yang dibuat oleh Nala sesaat yang lalu.

Nala cemberut, melihat Paji yang baru saja selesai mengambil pesanan semangkuk mi ayam dari ibu kantin dan kemudian berjalan mencari kursi kosong yang tersedia. Mata Nala terus mengekor, hingga dalam sekedip mata ia mendapati bakpao coklatnya tergeletak nahas di atas lantai kantin yang kotor. Nala bertabrakan dengan seseorang yang membawa nampan berisi sepiring nasi soto, yang nyaris menumpahi seragam putihnya. Hanya nyaris, untungnya. Tapi bakpao coklatnya itu sepertinya tak dapat diselamatkan, bakpao yang tadinya bersalut warna putih kini menjadi coklat dan cukup berdebu.

"Duh, lo sih, nggak ngeliat jalan ..." Zia berujar, mengambil bakpao yang Nala jatuhkan dan kemudian mengecek keadaan laki-laki malang yang menabrak Nala itu.

"Untung aja yang tubrukan ama lo tadi nggak kenapa-kenapa. Tapi bakpaonya udah kotor, La. Beli baru aja ya?"

Beberapa patah kata yang Zia lontarkan rupanya sama sekali tidak masuk ke pendengaran Nala. Gadis itu malah mematung, tubuhnya menyerong ke sudut kantin, menghadapkan raganya kepada laki-laki bernama Paji yang tengah berhenti mengunyah mi ayam dan memilih untuk memberi atensi kepadanya.

***

"Tadi Paji ngeliatin gue, Zi, sumpah,"

"Ya itu tadi karna lo nabrak orang yang megang piring soto! Gemelonthang di atas nampan, aslinya mah suara piring itu yang narik perhatian dia."

"Iya juga si-- tapi dia tadi ngeliatnya pake mata kepala dia loh, Zi. Fiks sih Paji naksir sama gue,"

"Ya terus? Maksud lo selain pake mata kepala, dia bisa liat pake mata kaki gitu?"

"Karna ga mungkin kan dia naksir cowo yang nabrak gue,"

"Nala please,"

"Paji naksir gue kan?"

Sedetik setelah Nala berkata demikian, Zia menghentikan langkahnya. Mereka baru saja keluar dari area kantin dengan satu es coklat di tangan Zia dan dua bakpao kacang hijau di tangan Nala (for your information, bakpao coklat yang dijatuhkan Nala tadi adalah bakpao coklat terakhir di kantin hari ini).

Nala menarik napas untuk kembali mengoceh. "Ayolah, Zi, selama ini dia sama sekali nggak ngeliat ke arah gue. Gue udah berjuang buat caper sana sini, nitip surat ke temen basketnya tapi ga dibales-bales sama dia, beliin coklat di hari valentin tapi dia sama sekali nggak bilang makasih ke gue, tapi dia malah notice gue ketika gue jatuhin bakpao di kantin? Ini sama sekali nggak masuk akal."

Zia sudah cukup lelah untuk siang yang terik ditambah omongan Nala yang semakin melantur. Ia membalikkan tubuhnya ke arah Nala yang sedikit tertinggal di belakangnya. "Aduh, Nala, udahlah. Kejadian itu juga gara-gara lo sendiri. Yang bukannya ngeliat jalan tapi malah ngeliatin Paji mulu."

PrimadonaWhere stories live. Discover now