OO9

7 2 0
                                    

Waktu-waktu istirahat seperti biasa, mayoritas murid memilih melipir ke kantin untuk menukar uang mereka dengan beberapa jenis makanan, beberapa diantaranya memilah ciki yang paling cocok untuk mengganjal perut setidaknya sampai sebelum istirahat kedua tiba. Seperti yang Nala lakukan, dan mungkin juga Zia. Di sinilah mereka berada, diantara kerumunan yang berdesakan di depan etalase kantin, Nala masih melongo sambil sesekali menoleh kanan-kiri, bingung dengan variasi jajanan kantin yang tampak enak semua itu.

"Lah, tangan lo kenapa?"

Ditanyai seperti itu, Nala langsung mengecek bagian yang dimaksud. Melihat pergelangannya yang sedikit biru, alisnya tertaut seolah sedang berusaha mengingat-ingat. "Lah iya, kenapa ya ini?"

"Ye, kocak."

Sementara Zia membayar makanannya, Nala masih sibuk memutar otak, memikirkan makanan apa yang enak sekaligus penyebab kulit lengannya yang tampak lebam tipis itu.

"Oh! Gue inget," Nala merespon sembari merebut dua bakpau coklat yang nyaris saja diborong seseorang. "Kena senggol orang, yaa bisa dibilang agak diserempet dikit lah."

Ada sedikit kerutan pada kening Zia yang tidak sempat Nala lihat, kini kantin terasa semakin sesak. "Keserempet di mana? Kok bisa?"

Yang ditanyai tidak kunjung merespon, mulutnya sibuk dibuat untuk meneriaki pemilik kantin sembari menyerobot antrean yang terlebih dulu mengambil haknya. Setelah beberapa saat bergelut dengan waktu, dua gadis itu berhasil mencuat keluar dari kerumunan. Menghela lega, kemudian menepi untuk setidaknya mengatur napas.

"Kok bisa lo diserempet?" Zia mengulang pertanyaannya sekali lagi.

Baru saja Nala hendak menyuapkan bakpaunya, ia dibuat berdecak lirih, tidak jadi memasukkan roti lembut itu ke dalam mulut. "Nggak tau, orangnya kali yang nggak beres nyetirnya. Padahal gue udah minggir, nggak yang ditengah jalan banget."

Zia mengangguk-angguk sambil sesekali melangkah. Nala ikut menyelaraskan.

"Terus, orangnya nolongin?"

Nala menggeleng.

"Lah, gimana coba. Nggak tanggung jawab banget," malah Zia yang mengomel.

"Tapi aman kok, Zi, gue-nya nggak sampe nyusruk gitu. Cuman disenggol doang. Soalnya ternyata orangnya memang lagi buru-buru, mau ada kelas les gitu. By the way kejadiannya di Primadona."

Zia menghentikan langkah seketika. "Apa?"

Nala mengangguk enteng. "Di Primadona, les yang kemarin lo maksud itu. Tapi gue nggak-- eh ..."

Kalimat itu terhenti begitu saja ketika Nala tiba-tiba menyipit, sepasang matanya memfokuskan pandangannya kepada sesuatu.

"Zia, gue minta maaf. Nanti gue sambung ceritanya di kelas, gue duluan, ya!"

***

Ada beberapa tempat di sudut-sudut sekolah yang sering dijadikan tempat nongkrong bagi beberapa murid. Salah satunya adalah kantin, tentu saja. Terdapat tiga kantin dengan dua diantaranya terletak di tepi tengah sekolah, tempat paling strategis dan sebagai pusat keramaian ketika sudah pukul sembilan lewat atau saat bel istirahat mulai berdenting.

Nala masih menadah bakpaunya, di tangan kanan dan kiri-- bakpaunya ada dua. Sekian detik yang lalu ia pamit kepada Zia untuk memenuhi urusannya-- urusan yang sekarang, urusan mendadaknya dengan seorang Marlo Pajiandra.

"Paji!"

Gadis itu berteriak lantang, beberapa ada yang ikut menoleh meskipun mereka tahu jika yang dipanggil bukanlah namanya. Si pemilik nama itu sempat berhenti sejenak, sebelum kemudian membalikkan tubuhnya dan celingak-celinguk mencari pelaku. Segeralah Nala mempercepat langkah untuk menyamai posisi Paji yang masih berada di tengah jalanan paving kering itu.

PrimadonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang