1. The (Important) First Impression

252 59 13
                                    

Sial.

Sial sial sial.

Padahal Raline sudah jelas jelas memasang alarm pada pukul tujuh pagi, namun ia malah masih terlelap dan terbangun saat jarum pendek menunjuk angka sembilan.

Pesawat mereka akan landing tepat pukul sepuluh pagi dan perjalanan dari rumah Raline ke bandara bisa memakan waktu satu jam lebih (karena macet yang luar biasa).

Tidak keburu, Raline dengan segera turun dari kasur, jemarinya gesit meraup scrunchie toska pemberian Alice, lagi. Kakak sulung Raline memang gemar membeli barang lucu jika teringat tentang adik bungsunya.

Cukup tentang Alice, kembali ke laptop. Dengan cekatan, Raline membuka lemari pakaian. Jemarinya tangkas mengambil kaos hitam berlengan pendek, dengan logo dari band Green Day; kembali lagi, hadiah dari Alice. Kaos itu ia padukan dengan training hitam panjang yang asal ia ambil.

Mandi? Apa itu mandi? Raline hanya punya waktu untuk menggosok gigi, cuci muka, dan mengenakan sunscreen saja. Gadis itu punya pedoman, seterlambat apapun, ia harus tetap mengenakan sunscreen saat keluar rumah.

Selain alarm, alasan keterlambatan Raline yang lain adalah tidak adanya orang yang ikut membangunkan gadis itu (Raline terbiasa dibangunkan Clare setiap mau berangkat kuliah). Clare, sudah berangkat ke rumah Alice sejak dini hari tadi mengenakan mobil pribadi ditemani supir mereka. Hanya ada Raline di rumah, asisten rumah tangga mereka masih mengambil cuti dan baru akan kembali esok hari.

Waktu terus berlalu, Raline sudah sampai di lantai satu rumahnya, segera meraup kunci mobil dan berlari keluar rumah.

***

Sepertinya hari ini benar-benar bukan harinya Raline. Sudah terlambat bangun, macet luar biasa (ia membutuhkan waktu nyaris dua jam untuk sampai di bandara), dan di tengah jalan tadi gadis itu baru sadar kalau ia melupakan ponsel dan dompetnya di rumah.

Bagaimana bisa lebih buruk lagi?

Raline sudah mondar-mandir di sekitar pintu kedatangan dari Sydney. Indera penglihatannya terus-menerus mencari dua orang laki-laki dengan ciri-ciri yang disebutkan Clare.

"Mereka ini kakak adik, Raline. Adiknya seumuran sama kamu. Besok kamu tungguin aja di pintu kedatangan Sydney, yang satu pakai sweater nude yang satu full black dari ujung kepala sampai ujung kaki. Oh, yang paling tua bawa tas gitar!"

"Mereka dari keluarga Gaudi, jadi kamu bawa karton aja, tulisin 'Gaudi from Sydney' gitu, biar mereka notis dan langsung nyamperin kamu."

Kening Raline mengernyit, bersamaan dengan matanya yang memejam pahit. Gadis itu saja terbangun kesiangan pagi ini, jadi ia tidak sempat membawa karton bertuliskan 'Gaudi'.

Ia sudah bertanya kepada security terdekat, katanya semua penerbang dari Sydney sudah keluar dan kedatangan terakhir masih nanti sore. Intinya, kedua saudara itu sudah berkelana duluan entah kemana hanya Tuhan yang tau.

Langkah kaki Raline bawa gadis itu berjalan tanpa arah menyusuri retail yang berjajar di sepanjang bagian dalam bandara. Matanya tak henti mencari laki-laki dengan ciri yang ia ingat.

Pada akhirnya, langkah kaki Raline membawa ia keluar dari area bandara. Suhu panas Jakarta membakar kulitnya yang hanya mengenakan kaos berlengan pendek. Raline memutuskan untuk duduk di sitting group yang terletak di dekat Indomaret Point, menonton orang meminum kopi dingin. Duh, ia belum minum atau makan apa-apa lagi sejak bangun tidur.

Atensi Raline ditarik paksa oleh pemandangan seorang pria yang sedang menggenjreng gitar, tepat di deretan kursi Indomaret Point tempat Raline menatap iri orang-orang yang lewat sembari menggenggam segelas minuman dingin.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 02 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Winter Holiday Goes Wrong!Where stories live. Discover now