Bab 17. Cemas dan Rindu

51 9 0
                                    

Langkah kaki Dewa terayun pelan ke depan, menuju tenda kecil yang akan menjadi bui sementara untuknya. Tak ada penyesalan sedikit pun yang terlintas di lubuk hatinya, hanya ada perasaan lega yang hadir menghiasi hati usai menyelamatkan Azura. Baginya, keselamatan gadis itu lebih penting ketimbang dirinya sendiri yang juga tidak luput dari serangan timah panas.

Jemarinya perlahan menyentuh perut kirinya yang masih dibaluti seragam loreng yang terlihat merah akibat darah yang merembes keluar. Dibukanya semua kancing seragam lorengnya kemudian di letakkan di kursi kayu di hadapannya kini. Kaos jerseynya tampak berlubang bekas dobrakan timah panas yang mengenai sisi perut kirinya. Luka pasca operasi itu masih mengeluarkan darah segar akibat pukulan yang diberikan Kapten Satriyo tadi.

Dua pemuda militer yang menuntunnya tadi mendesis nyeri seolah mampu merasakan sakit yang di derita Dewa. Namun pemuda itu tampak biasa-biasa saja, raut wajahnya tidak menunjukkan sakit sedikitpun. Barangkali keselamatan Azura mampu meredam semua sakitnya kini.

Tak berselang lama, terdengar derap langkah dari luar tenda yang kian mendekat. Detik berikutnya nampaklah seseorang yang mengenakan jas dokternya bersama satu orang relawan kesehatan yang tak lain adalah Cici, sambil membawa beberapa peralatan medis dan obat-obatan untuk Dewa.

"Permisi, Pak Dewa." Sapa Dokter Diki.

Dewa yang duduk di lantai tanah menoleh, kemudian mengangguk sedikit tanpa memberi sahutan pada sapaan Dokter Diki.

"Saya periksa dulu lukanya ya, Pak. Saya khawatir jahitannya terbuka karena belum benar-benar kering." Ucap Dokter Diki yang tampak cemas dengan luka milik Dewa. Pasalnya, belum sampai 24 jam pemuda itu di operasi justru sudah harus mendapatkan hantaman di perutnya.

Sekali lagi Dewa mengangguk lantas beranjak duduk di kursi kayu.

Dokter Diki menyingkapkan kaus jersey milik Dewa. Perban yang semula warna putih kini telah berubah menjadi merah pekat akibat banyaknya darah yang merembes keluar.

Dokter Diki mulai membersihkan luka untuk mengurangi risiko infeksi dengan cairan antiseptik seperti iodine dan alkohol, mengoleskan antibiotik kemudian menutup kembali luka dengan perban yang baru.

"Sudah selesai." Ucap Dokter Diki usai mengobati luka di perut Dewa.

"Saya sarankan bapak untuk menghindari kegiatan yang berat-berat, karena takutnya luka bapak akan infeksi."

Dewa tersenyum simpul. Mau beraktivitas bagaimana sementara dirinya dikurung dalam tenda kecil itu dalam waktu sepekan.

"Apa ada keluhan lain pak?" Tanya Dokter Diki dikala melihat Dewa yang diam tidak kunjung menanggapinya.

"Tidak ada." Jawab Dewa kemudian.

"Baiklah kalau begitu. Saya permisi dulu pak, tapi saya akan terus mengecek kondisi bapak setiap 4 jam sekali." Ujar Dokter Diki kemudian pamit dari sana.

Namun belum sempat kakinya melangkah keluar tenda, terdengar sahutan dari belakangnya. Dokter Diki menoleh, mendapati Dewa yang kini menampilkan raut wajah seriusnya.

"Bagaimana kondisinya?"

Tanpa perlu ditanya lagi orang yang dimaksud Dewa, Dokter Diki sudah dapat menebaknya. "Dia baik-baik saja, vitalnya juga sudah membaik." Ucap Dokter Diki sembari menarik senyum di bibirnya.

"Anda tenang saja, pak. Kami semua tenaga medis yang ada di rumah sakit akan menjaga dan merawatnya dengan baik, kok." Timpal Cici.

Perkataan dua orang tenaga medis di depannya itu membuat Dewa kembali merasa lega. Namun, rasa lega itu pula hadir bersamaan dengan kepiluannya karena tidak dapat mendampingi Azura.

Setulus Cahaya SandyakalaWhere stories live. Discover now