- 21

1.6K 221 89
                                    

"Aku minta maaf, Halilintar. Aku belum menjumpai pengacara yang mau mengangkat kasus kamu." Aku menuturkan. "Mereka takut pada keluargamu."

Aku berjongkok pada Halilintar yang duduk menyudut di selnya lagi.

"Aku juga sudah mencari ke penjuru kota. Tapi,"

Aku dan Halilintar terkesiap. Suara itu milik sosok lain. Mengidentifikasinya dengan sekali kedipan mata cukup bagiku untuk mengenalinya sebagai Pak Solar.

Halilintar bereaksi. Ia menggapai leherku, seakan memintaku menggendongnya. Tak berhenti disana, Halilintar menariknya, menjadikan aku hilang keseimbangan dan jatuh ke bawah. Ke spot dimana Halilintar bisa mendekapku,

"Jangan," Ucapnya, melankonis. "Jangan ambil dia."

Pak Solar kebetulan tidak mengenakan topi. Ia berpakaian kasual, rapi, dan terlihat seperti bukan seorang ketua prodi.

"Percayakah kamu, Halilintar?" Pak Solar ikut-ikutan berjongkok. "Yaya ialah anak adopsi dari Madam Ayu Yu?"

Dan apa manfaatnya bagiku untuk mengetahuinya? Oh, astaga. Aku mengerjap.

"Kalau kamu ingin tahu siapa yang mengoplos LSD ke tubuhmu," Pak Solar menjeda. "Kamu bisa mencurigainya."

Halilintar tidak bergeming. Halilintar tidak peduli. Ia telah hancur, tak menyisakan sedikit pun kepedulian akan fakta kecil dari ulasan Pak Solar.

"Halilintar, aku minta maaf, ya?" Pak Solar mengernyit. Tidak ada dendam apapun yang tersisa untuk Pak Solar. Aku mengiklaskannya. Aku tidak bisa terjebak dalam kebencian dan meracuni diri sendiri seumur hidup dengan hanya membencinya, mengutuknya, dan memimpikan kelulusan darinya. Aku menatap Pak Solar dengan mata teduh—tanpa kecewa dan tanpa damba—seakan kami baru saja saling kenal di sini.

Aku ingin mendengarkan mengapa Pak Solar ada disini, dan rela menurunkan egonya.

Halilintar, seperti dugaanku, tak menjawab. Ia hanya membentengi dirinya dengan memelukku. Papa mengajarkanku mendedikasikan diri. Tapi apa perlu sampai begini? Apa ini tak berlebihan? Mengayominya sebegininya?

Aku melepaskan Halilintar. Halilintar memerhatikanku memeragakan gerakan risi. Ia memandangku dengan tatapan kosong. Ia tidak menghasilkan ekspresi apapun.

"Aku menyesal." Pak Solar melanjutkan. "Madam Ayu Yu mengirimkan seorang wanita yang pada awalnya kuterima sebagai temanku. Yaya. Dia mendekat. Dia ... memasukkan LSD ke kopiku. Dan kami tidur bersama."

Aku terperangah, "Yaya?"

"Yaya bukan wanita yang kompleks. Dia hidup dengan kesederhanaan. Keinginannya tidak neko-neko. Gaya hidupnya wajar. Tapi, dia terjebak hutang budi pada Madam Ayu Yu." Jelas Pak Solar. "Yaya membubuhkan LSD di kopiku di malam dimana aku khilaf. Pula mencampurkan mocktail yang kupesan di pub sebelum ibu menjemput dengan LSD."

"Bisakah aku memercayaimu?" Aku menggantikan Halilintar sebagai pembicaranya.

Pak Solar mengangguk. "Kamu bisa. Tapi, Yaya tidak layak dibenci. Dia hanya kaki tangannya Madam Ayu Yu."

"Tapi dia dalam kesadaran penuh menggodamu, Pak!" Aku berseru.

"Hutang budi dapat membelenggumu lebih erat dari borgol mana pun." Pak Solar menukas. "Kamu cemburu?"

"Aku tidak." Aku menggeleng. "Mari bicara di tempat yang lebih layak."

Aku menunduk ke arah Halilintar di lantai. Ia mengudarakan tangannya ke atas. Ia mau dibantu berdiri. Oh astaga. Apa dedikasi macam ini yang dimaksudkan papa dalam pidato kenegaraannya?

Aku membungkukkan badan, dan meraih tangannya. Aku menariknya ke arah tubuhku, aku menopang tubuhnya sedangkan ia berusaha berdiri.

"Ngantuk." Keluhnya.

Halilintar x Reader | Pasien E-3.70Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang