- 23

1.3K 228 123
                                    

Aku dilarang pergi ke pengadilannya Halilintar yang dijadwalkan akan dimulai pagi hari ini. Padahal aku dapat hadir sebagai masyarakat umum, atau padahal setidaknya, aku bisa beralasan begini; aku ingin mengontrol lapisan psikolog forensik disana selaku anak pemilik agensi. Tapi apa boleh buat. Kalau mama bilang tidak, artinya tetap tidak meskipun aku telah jungkir-balik, kayang, atau sikap lilin.

Jadinya aku hanya menonton tayangan ulang live streamingnya di platform televisi. Aku tak mengulik siaran langsungnya di program acara televisi nasional karena mama menyuruhku mengepel lantai. Biasalah. Kami ini hidup di tanah Asia dan keluargaku masih mengadaptasikan berbagai budaya-budaya serta kebiasaan sosio-kulturalnya; anak perempuan ialah pembantu alamiah. Aku kebagian mengepel, dan papa membereskan loteng. Papa dengan senang hati membersihkan gudang itu lantaran papa punya niat terselubung yakni, papa ingin mencari alat pancing fenomenalnya yang disimpannya di antara kerajinan keranjang rotan berisi pakaian lama.

Aku memandang Halilintar di tengah ruangan persidangan, duduk menghadap hakim berkumis thin horseshoe. Halilintar mengenakan kemeja putih, dan celana hitam panjang. Ini pemandangan baru bagiku. Sebab selama ini, aku hanya menjumpai Halilintar dibebatkan piyama putih yang warna kainnya memudar.

Hakim ketua memulai dengan tiga kali ketokan palu. Jajaran JPU dan peserta pengadilan di tribun penonton senyap seketika. Seorang narator membicarakan bahasan kasus hari ini—pria itu giginya tonggos, hidungnya bengkok, agak kifosis, rambutnya klimis karena pomed, dan kerah kemejanya lepek. Well, Modelan pekerja sipil di pengadilan negri yang diceraikan istri dan hidup sendiri sebagai duda kaya raya. Tinggal menunggu waktu sampai ia memperistri anak fresh graduate hilang arah karena tidak lolos tes kepegawai-negrian.

Aku tak begitu mendengarkan apa yang diucapkan si pembawa acara. Aku hanya berkonsentrasi membaca bahasa tubuh Halilintar di kursi tersangka. Ia kelihatan tidak nyaman. Rambutnya tak disisir dengan benar. Aku yakin ia tidur kurang dari delapan jam, pun tak nyenyak, sebab air mukanya amat mengantuk. Kalau aku ada disana, di saat sebelum Halilintar diberangkatkan; aku yakin aku bakal meninabobokan orang itu agar ia tidur, menyuruhnya mandi dan keramas pada pagi harinya, mengoles minyak kemiri dan gel lidah buaya ke rambutnya, menyemprot body mist rasa permen ke sepenjuru tubuhnya, dan menyetrika kemeja itu lebih dahulu untuk alasan estetika!

Kenapa wajahnya kusut sekali. Aku takut ia belum makan. Apa pengadilan tidak menyediakan jatah sarapan bagi para terpidana dan tersangka? Oh astaga ayolah, sial, mereka itu juga masih memiliki hak asasi manusia berdasar undang-undang.

"Tersangka masih hadir tanpa pengacara, Yang Mulia." Seseorang dengan wig rambut model Charlie Caplin angkat bicara. Celananya kedodoran, dan ia mengenakan behel warna oranye.

Dan lagi pula, aku jadi merasionalisasi stetmennya. Pengacara di negri ini tidak ada yang mau karirnya anjlok karena melawan keluarganya Pak Amato. Apalagi Madam Ayu Yu telah gembar-gembor akan menghancurkan siapapun yang memalangi jalannya—ia bahkan berteriak begitu di depan tim forensik dari tim rumah sakit rujukan nasional. Wanita gila. Aku tak mengerti mengapa Pak Amato jatuh cinta pada tipe cewek bersurai marmot alpaca satu itu.

Aku mendengar bisik-bisik keributan. Berbagai lapisan masyarakat yang hadir disana mengobrol mengenai betapa sialnya Halilintar. Namun bising statis itu terpecah dengan hadirnya punggung seorang pria bersetelan formal. Aku mengenal gaya rambutnya. Ia begitu polos untuk menyebrangi lautan manusia di persidangan itu sembari menyakukkan tangan di saku celana.

Kamera live streamernya mengarah pada orang itu. Blaze. Blaze datang sebelum majelis hakim memerintahkan pada Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaan tanpa penasihat hukum dapat mengajukan eksepsi.

"Aku datang kesini untuk menghancurkan karir kepengacaraanku, Yang Mulia." Blaze merentangkan tangan dan tertawa renyah di depan batang hidung si Hakim bermuka ketus. Hakim itu nampak kesal sebab dupliknya terhambat oleh kehadiran Blaze. "Sebab aku melawan keluarga yang berkuasa dan zalim."

Halilintar x Reader | Pasien E-3.70Where stories live. Discover now