42. Sebuah peringatan

3.6K 244 0
                                    

Oci memasuki sebuah cafe yang cukup jauh dari kantornya. Ia memutuskan untuk menerima ajakan Kamila. Namun, ia meminta Kamila memilihkan tempat yang jauh dari kantor agar tidak diketahui oleh Radhit. Ya, ia tidak memberitahu Radhit terkait pertemuannya dengan Kamila.

"Udah lama, ya, mbak. Maaf, mbak tadi harus nyelesaiin beberapa kerjaan dulu," ujar Oci yang baru saja duduk dihadapan Kamila.

"Akhir tahun agak hectic, ya, mbak. Maaf, ya, jadi ganggu," ujar Kamila tidak enak.

"Nggak papa udah selesai kok, tinggal di serahin ke dirut aja," balas Oci seraya tersenyum.

Kamila mengangguk, "Nggak pesen, mbak? Katanya kopi di sini enak tapi sayangnya aku nggak bisa minum kopi."

"Tadi udah beli air putih kok. Aku juga nggak boleh minum kopi dulu."

"Oh iya, aku lupa kalau Mbak Oci lagi hamil." Kamila meringis tidak enak.

"Jadi, mau ngobrolin apa?" tanya Oci langsung.

Kamila berdehem, "Sebelumnya aku mau minta maaf sama Mbak Oci."

"Minta maaf kenapa, mbak?"

"Kayaknya Mbak Oci juga udah tau kalau aku sama Kak Radhit pernah punya hubungan yang cukup dekat. Jujur aja, mbak, aku emang masuk perusahaan karena ada Kak Radhit di sana. Aku pengen hubunganku sama Kak Radhit kayak dulu lagi, tapi aku lupa kalau aku yang buat kehidupan Kak Radhit hancur. Aku lupa kalau aku yang buat mimpi Kak Radhit hilang begitu aja." Kamila menghela napas sejenak. "Aku terlalu egosi, mbak. Aku ngerasa nggak bisa hidup kalau nggak sama Kak Radhit, tanpa aku tahu bahwa Kak Radhit udah sangat membenci aku," lanjutnya.

"Hamil tanpa suami, direndahin keluarga, dimaki sama semua orang, semua berat buat aku, mbak. Selama itu aku mikir, kenapa aku bisa sejahat itu ke Kak Radhit," ujar Kamila yang suaranya mulai tercekat. "Aku selingkuh, aku buat Kak Radhit kembali berjuang buat dapetin beasiswanya padahal aku sendiri tau gimana berjuangnya Kak Radhit untuk dapetin beasiswa itu. Aku pengen minta maaf ke Kak Radhit tapi aku ditekan sama semua orang. Papa sengaja mengambing hitamkan Kak Radhit biar perusahannya tetap baik dan membuat aku seolah-olah korban. Aku beneran ngerasa bersalah banget makanya aku mau kembali ke Kak Radhit untuk menunjukkan kalau aku nggak sejahat itu," lanjutnya.

Oci masih diam mendengarkan ucapan Kamila. Ia tidak kesal dan cenderung sedih karena cerita tentang kehidupan Kamila pun menyedihkan.

"Aku sakit, mbak, waktu tau kalau Kak Radhit udah nikah. Aku nggak bisa terima fakta itu. Apalagi waktu tau kalau Mbak Oci yang nikah sama Kak Radhit. Aku bahkan punya pikiran untuk ngerebut Kak Radhit waktu itu. Ditambah aku tau kalau Mbak Oci sama Kak Radhit nikah karena dijodohin. Aku semakin percaya diri," ujar Kamila lalu tertawa miris dan menunduk. "Tapi waktu Mbak Oci hamil, aku jadi mikir lagi. Apa bener Kak Radhit cinta sama Mbak Oci? Apa bener Kak Radhit serius sama pernikahannya? Setelah itu aku sadar kalau Kak Radhit emang udah ninggalin masa lalunya termasuk aku," lanjutnya.

"Aku mau minta maaf karena pernah punya niat untuk ngerebut Kak Radhit. Aku nggak bakal bilang Mbak Oci beruntung punya Kak Radhit karena memang Kak Radhit yang beruntung punya istri kayak Mbak Oci," ujarnya sambil mengusap air matanya yang tidak sadar menetes.

Oci terdiam sejenak lalu mengangguk, "Nggak papa, aku juga terima kasih karena Mbak Kamila mau cerita dan mengakui semuanya. Aku nggak mau punya perasaan benci ke siapapun."

Kamila menghela napas, "Tapi, Mbak Oci harus lebih hati-hati."

Oci mentap Kamila bingung, "Karena?"

"Farah."

"Mbak kenal dia?"

Kamila mengangguk, "Aku sepupunya Mas Azka."

Oci cukup terkejut mendapati fakta ini. Ia mengenal hampir semua keluarga Azka karena ia pernah dibawa ke acara keluarga Azka. Namun, ia tidak pernah mengenal Kamila.

Our Traumas [End]Where stories live. Discover now