08 - hari-hari damai (bonus)

428 82 9
                                    

Satu bulan setelah rombongan Minhyung datang

Salju sudah mulai mencair dan pulau Bwinja mulai menjemput pucuk musim semi. Udara berangsur menghangat, paviliun-paviliun mulai dibuka kembali. Renjun sedang telaten menyulam di paviliun Teratai–paviliun kesukaan Renjun di antara tiga di istana Bwinja.

Kayu-kayu balsam penyusun konstruksinya diwarnai ungu pucat dan bagian dalam atap segi delapannya dibangun atas mozaik keramik kuning telur yang mengingatkan Renjun pada rumahnya di Taiyang. Renjun duduk bergelung di salah satu dari dua bangku rotan anyam yang menghadap kolam istana, serasi dengan meja pendek berukir harimau di antaranya.

Renjun menelusupkan benang–hilang timbul dengan cekatan di atas kain blacu membentuk gambar burung kolibri yang sedang menghisap bunga krisan, senada dengan semarak menyambut musim panen.

Anak-anak kecil keturunan para pegawai istana mengerubung di sekitar kursi Renjun, menatap gerak-gerik tangannya dengan kagum.

Suami Renjun terlalu murah hati, Jeno membiarkan anak-anak pegawai dan penjaga istana untuk tinggal di balai, juga membiarkan mereka berkeliaran di ruang umum istana asalkan tidak mengganggu kerja orang tua mereka.

Awalnya Renjun tersipu malu dengan perhatian orang ramai.

Renjun adalah tontonan yang menarik bagi penghuni istana, mereka tidak pernah bertemu Omega yang menyulam seapik dan bernyanyi seindah Renjun. Namun seiring berjalannya waktu ia sudah terbiasa, setiap kali Renjun singgah di paviliun luar ruangan ada saja audiens yang menemaninya.

Kadang, jika target menyulam nya telah terpenuhi, Renjun akan menyisihkan benang yang ia warnai sendiri itu untuk mengajari anak-anak Bwinja menyulam, seperti sekarang, "Siapa yang mau mencoba?"

Tangan-tangan kecil teracung ke udara, beberapa menggamit jubah Renjun. Renjun tertawa dan pura-pura memilih anak yang paling tenang, tapi kegiatannya buyar oleh teriakan nyaring anak-anak yang menghambur meninggalkannya,

"Yang Mulia!"

Jeno muncul di mulut gerbang paviliun, kacamata baca bertengger di pangkal hidungnya. Mau semenarik apapun Renjun, anak-anak kecil ini jauh lebih menyukai Jeno.

Berduyun-duyun mereka memeluk pangerannya dan merengek minta digendong. Jeno yang baik hati mengiyakan, membiarkan lengan-lengan kecil bergelayut manja pada dirinya.

Hari ini Jeno mengenakan hanbok hitam dengan bordir naga keperakan yang Renjun sulam sendiri, lengannya terlihat cantik ketika bergerak ditiup angin, menekuk meliuk seperti naga yang menari.

Renjun tidak habis pikir, mengapa sebelum ia datang, Jeno cuma punya hanbok polos berwarna muram ketika ia sangat cocok dalam balutan hanbok mewah berbordir. Pembuluh darah kebiruan yang mengintip di balik kulit putih Jeno membuat Renjun bisa memikirkan belasan pose naga berbeda untuk ia sulam.

Melihat Jeno menggendong anak-anak pelayannya membuat Renjun bertanya-tanya, apa dosa seorang bocah tujuh tahun sehingga hati yang tulus ini hidup dalam pengasingan dan prasangka seluruh negeri? Dilepas nun jauh tanpa diperbolehkan menyandang satu pun tanda kebesaran Kaisar, naga Kalér, dalam istananya.

"Sudah ya mainnya, saya mau pinjam Renjunnya." Jeno menurunkan anak kecil terakhir. Paduan suara protes keluar dari mulut-mulut mereka, namun dengan patuh mereka melambaikan tangan keluar meninggalkan paviliun.

Renjun terkikik geli, semudah itu mereka lupa mau menyulam. Renjun mengesampingkan peralatan menyulamnya dan menyapa Jeno, membungkuk hormat pada suaminya, "Selamat sore Jeno, ada keperluan apa mencariku?"

"Apakah tidak boleh menghabiskan waktu dengan pengantinku?" Jeno balik bertanya sambil mengeluarkan sebuah buku dari saku jubahnya.

Renjun menggeleng, cepat-cepat menuangkan teh pada cangkir yang kosong di meja rendah di antara bangku mereka, merah merona menyapu pipi.

melati (noren | reupload)Where stories live. Discover now