26. Part 2

19 4 0
                                    

Di dalam sebuah kamar yang lumayan berserak bekas makanan dan tertutup kurang penerangan, tampak seorang pemuda yang duduk menyendiri. Penampilannya amburadul, mulai dari rambut setengah gondrong dibiarkan tak bersisir, kumis dan jenggot yang lumayan berantakan tak terurus, kantung mata yang tebal dan hitam. Ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek seadanya, duduk bersandar lesuh pada kursi gaming. Kontras dengan dirinya yang tampak seperti gelandangan, di hadapannya terpasang perangkat komputer yang canggih nan elite—satu-satunya yang tampak mewah di kamarnya yang setengah hancur. Pemuda itu juga mengenakan headset mahal, sedang mengetik di atas keyboard tanpa minat.

Brakk!!

Tiba-tiba seseorang  memukul meja yang ditempati pemuda itu dengan kuat, membuatnya meloncat terkejut. Lantas ia melepaskan headset-nya lalu menoleh. "Ada apa, Ma?" tanyanya.

Seorang wanita paruh baya, dengan wajah yang sudah terlihat garis-garis kerut samar, memberengut kepada anaknya. "Bukannya Mama sudah ingatkan untuk tidak pakai headset dengan volume penuh? Mama sudah panggil-panggil, gedor pintu, sampai teriak berkali-kali tapi kamu tak jawab, kira terjadi sesuatu."

Pemuda itu hanya tersenyum lugu. "Maafkan aku, Ma," balasnya. "Mama ada perlu denganku?"

"Itu, ada yang datang mencarimu di luar, Rio."

Pemuda itu, yang ternyata adalah Rio, mengangkat sebelah alisnya bingung. "Datang cari aku? Mama gak salah dengar, nih? Siapa yang mencariku, Ma?"

"Seorang perempuan, tapi Mama tak kenal. Dia bilang namanya Diana."

Rio masih tampak kebingungan. Kali terakhir ia keluar dan bertemu dengan teman atau orang yang mengenalnya itu sekitar 6 sampai 7 tahun yang lalu, setelah itu dia hanya mengurung diri di rumah. Dia tidak ingin bertemu dengan teman-teman sekolahnya, juga malas mencari teman baru. Jadi, siapa gerangan yang datang menemuinya? Setelah merenung sesaat, Rio memutuskan untuk menolak bertemu, sampai mamanya mengatakan kalimat berkutnya.

"Dia bilang dia temannya Billy dan Ricky."

Hanya dalam hitungan detik, kedua mata Rio membelalak lebar. Debaran jantungnya berpacu hebat, kontras dengan napasnya yang berhenti seolah ia sudah lupa harus menghirup oksigen untuk terus hidup. Tidak hanya Rio yang seakan membatu bagaikan boneka tak bernyawa, ternyata mamanya yang berdiri di hadapannya juga menunjukkan raut yang lumayan pucat.

"Mama ... tak salah dengar?"

Sialnya, ibunya menggeleng. "Apa kamu mau menemuinya? Si teman Billy dan Ricky."

Nama itu, terdengar lagi. Siapa sangka, kedua nama yang tidak pernah ingin ia ingat lagi membuat tubuhnya bergetar hebat sekarang, kejang. Rio seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri dan mamanya langsung panik saat melihat reaksinya. Ia buru-buru memeluk anaknya erat.

"Tenangkan dirimu, Nak. Tenangkan, tarik napas, buang napas. Ayo, pelan-pelan ikuti Mama. Ayo, kamu bisa, kamu bisa."

Mengikuti ritme pernapasan mamanya, dengan perlahan napas Rio sudah teratur kembali berikut juga dengan tubuhnya yang sudah normal bisa ia kendalikan. Rio segera meneguk juga air dingin dari botol yang selalu ia sediakan di samping meja.

"Kamu tetap di dalam kamar saja, lanjutkan pekerjaanmu. Mama akan minta perempuan itu pulang."

Baru saja mamanya membalikkan badan hendak beranjak keluar, Rio tiba-tiba menahan dengan menggenggam lengan mamanya.

"Aku ... mau ketemu dengannya," gumam Rio dengan suara yang sangat pelan nan ragu, tapi ternyata memberikan efek kaget yang sangat besar kepada mamanya.

"Rio, kamu tidak sedang bercanda dengan Mama, kan?"

"Mama sendiri kenapa tanya aku mau ketemu atau tidak kalau memang sudah menolak dari awal?"

Twisted Fate (Complete)Where stories live. Discover now