22.1

6K 740 45
                                    

Sadar dari pingsan Rengkah yang masih lemas menengok sekelilingnya dengan penuh kelimpungan. Salah satu tangannya digenggam oleh Lengkara yang saat ini duduk di sisi kanan ranjang. Sementara di kanan Prasada berdiri sesekali mengecek gawai.

Melihat Rengkah terjaga, kedua orang itu buru-buru menyerbunya. Lengkara langsung membantunya bangun, menegakkan bantal sebagai sandaran, dan menyodorkan segelas air putih yang kemudian berakhir ditolak Rengkah. Menyingkirkan gawainya, Prasada menyentuh puncak kepala Rengkah. “Di mana kau merasa tidak nyaman? Apakah kepalamu masih sakit? Atau, apa—”

Pertanyaan Prasada terpenggal oleh selaan Rengkah. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing. Bukan masalah besar.” Menyingkirkan tangan Prasada dari puncak kepalanya, Rengkah menunjukkan gelagat tidak suka. Sebenarnya ia ingin mengusir mereka segera, seandainya punya cukup tenaga.

Menarik napas panjang, Rengkah yang tidak mengerti dengan keadaan saat ini mengerutkan dahi. “Kenapa aku di sini? Apa yang terjadi?”

“Kau tidak mengingatnya?”

“Mengingat apa?”

Berupaya merunut aktivitasnya, Rengkah tidak menemukan celah yang membuatnya sampai tidak sadarkan diri. Mengerling Lengkara, Rengkah mencebikkan bibirnya. “Kau membawaku pergi dari halaman tengah ke halaman belakang. Aku marah dan kemudian menggigitmu. Lalu setelah itu ....”

Kosong. Otak Rengkah seperti ruang hampa yang tidak menyimpan memori tentang kejadian setelahnya. Semakin berupaya mengingatnya, pusing yang diderita bertambah intensitasnya. Tidak sanggup, Rengkah menggeleng pelan. “Aku tidak tahu setelah itu apa yang terjadi.”

Kendati tidak ditunjukkan lewat tutur kata, Rengkah bisa merasakan gejolak perasaan Prasada dan Lengkara. Mendadak keduanya diam dan saling menatap satu sama lainnya. Tindakan tersebut mengindikasikan ribuan makna. Rengkah curiga.

“Memang apa yang sebenarnya terjadi?”

“Bukan apa-apa.” Prasada tersenyum, meski demikian kedua irisnya tidak berbinar.

“Lalu kenapa aku pingsan?”

Ketika Prasada hendak menjawab, Lengkara berdeham dan mengambil alih tugas tersebut. “Karena aku tidak mengizinkanmu kembali ke perpustakaan, kau sangat marah hingga terbawa perasaan. Ditambah kau juga kelelahan dengan banyak hal yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Kata dokter saat ini daya tahan tubuhmu lemah, jadi mudah sekali untuk sakit dan pingsan.”

“Alasan yang kau berikan terdengar seperti karangan.” Memicingkan mata, Rengkah membuat Lengkara merasakan sejejak perasaan disangsikan. “Tapi itu cukup meyakinkan. Aku akan menganggap yang kau katakan adalah benar.” Malas memperpanjang urusan yang baginya sangat tidak krusial, Rengkah memilih melepaskan. Pikirnya, ia mungkin benar-benar kelelahan hingga pingsan.

Tubuh Rengkah Mireeya memang lebih sehat dibanding tubuhnya saat menjadi Gahara Rengkah. Namun, tetap saja, tubuh ini telah rumpang tanpa salah satu ginjalnya. Adalah wajar untuk ia kehilangan kesadaran karena alasan-alasan sederhana. Bahkan, Rengkah tidak menutup mata jika tidak di bawah perawatan hati-hati Prasada dan Lengkara, sudah dipastikan ia akan menjadi wanita sakit-sakitan seperti kehidupan sebelumnya.

“Rengkah,” panggil Prasada.

“Em?”

“Apa akhir-akhir ini kau merasa tidak nyaman?”

Rengkah menggeleng. “Selain karena diusik kalian dan beberapa orang menyebalkan, sisanya hidupku berlalu dengan sangat nyaman.”

Tangan Lengkara mengepal di balik saku celananya. Sedang Prasada masih terus mencecar tanya pada Rengkah. “Kau masih sering merasa pusing?”

“Sesekali, tidak sering. Itu pun hanya jika kalian membuat kekacauan.”

“Maaf, itu kesalahan Kakek.”

“Ya, itu memang kesalahanmu.” Rengkah mengucapkannya dengan tanpa mempertimbangkan perasaan yang mendengar. Baginya adalah bagus orang-orang yang membuat ia menderita sadar tanpa perlu diingatkan.

Prasada yang terbiasa diserang secara verbal oleh Rengkah telah mengembangkan kekebalan. Sehingga meskipun hatinya ditaburi garam, ia masih dapat tetap tenang. “Lalu apa kau masih mengalami mimpi buruk?”

“Tentu saja. Aku selalu mengalami mimpi buruk setiap kali bertemu Anda, Tuan Prasada yang terhormat dan kau, Tuan Lengkara.” Senyum Rengkah mengisyaratkan ribuan keluhan yang terpendam lama. “Kalian seperti monster menakutkan yang akan menyedot mimpi-mimpi indahku dengan serakah. Lantas menyisakanku mimpi buruk saja.”

Jawaban Rengkah tidak mengada-ada. Ia memang tidak bisa hidup dengan tenang menghadapi dua orang yang gigih mencoba seribu satu cara agar tetap terhubung dengannya. Bahkan saat jarak terang-terangan ditarik antara mereka, saham seharga triliunan pun bisa direlakan begitu saja.

Menunduk, Prasada menyadari maksud di balik kata-kata Rengkah. Muak dengan ekspresi bersalah kakeknya, Rengkah membuang muka. Di lain sisi ia justru disambut tatapan lembut Lengkara yang sejak tadi fokus mendengarkan tanpa menyela. Pria itu terlihat ingin menyentuh tangannya, tetapi ragu-ragu dan kemudian memilih diam seperti batu di samping Rengkah.

“Langsung saja apa yang ingin kau katakan. Kenapa harus berputar-putar dengan pertanyaan membosankan?” Mengembuskan napas panjang, Rengkah merasa sangat kesal. “Berbagi udara di ruangan yang sama dengan kalian sangat menyesakkan. Aku mohon, keluarlah jika memang tidak ada lagi yang perlu kalian lakukan dan katakan.”

Duduk di tepi ranjang, Prasada memandang saksama Rengkah yang tengah mengurut alisnya dengan sedikit penekanan. “Bagaimana jika perawatan dengan Dokter Iyama kita lanjutkan?”

Selama ini ia dan Lengkara hanya fokus mendapatkan maaf Rengkah, lantas mengabaikan hal yang lebih besar. Padahal Dokter Iyama telah mengingatkan akan indikasi distorsi ingatan. Rengkah memerlukan perawatan. Namun, karena Rengkah menolak, ia juga tidak memaksakan. Siapa menyangka itu akan menjadi bumerang yang mengerikan.

Gerakan mengurut Rengkah terhenti. “Tiba-tiba?” Membalas tatapan Prasada penuh selidik, Rengkah menangkap ada sesuatu yang salah. “Kenapa?”

Sejak memiliki sebagian ingatan Rengkah Mireeya, Rengkah menolak perawatan psikologis Dokter Iyama. Ia terangan-terangan berhenti meminum obat yang dulu teratur diminumnya. Bahkan sesi terapi yang rutin dijalani dihentikan secara sepihak oleh Rengkah. Baginya semua itu tidak berguna. Lagi pula, dahulu ia menerima perawatan hanya karena berpura-pura agar tidak menerima kecurigaan Rengkah dan Prasada.

“Tidak ada apa-apa. Hanya saja Kakek pikir akhir-akhir ini kau mengalami banyak sekali tekanan. Bukankah baik jika menerima perawatan psikologis?”

“Apa yang Kakek bilang ada benarnya. Rengkah, aku pun menganjurkan hal yang serupa. Ayo, lanjutkan perawatan dengan Dokter Iyama.”

Kebohongan yang sempurna. Baik Prasada maupun Lengkara berupaya keras tidak menunjukkan gelisah yang menyelimuti kepala mereka dengan mesra. Keduanya benar-benar ketakutan dengan apa yang baru saja terjadi pada Rengkah. Terutama Lengkara yang menyaksikan betapa histeris sang istri ketika membicarakan masa lalu mereka.

Penyesalan menyeruak liar. Daripada melihat Rengkah kesakitan, ia lebih senang memilih menelan segala keegoisan. Apa yang terjadi di masa lalu biarkan saja, tidak perlu diberikan penjelasan.

“Silakan keluar.” Rengkah mengarahkan tangannya ke pintu yang masih tertutup rapat. “Saran kalian tidak aku perlukan.”

Lengkara menggeleng. “Tidak bisakah sekali ini saja kau pertimbangkan?”

“Pertimbangkan apanya? Aku hanya pingsan karena kelelahan, itu yang kalian katakan. Jadi yang aku butuhkan adalah istirahat, bukannya perawatan psikologis. Sekarang keluarlah dari kamarku.”

“Rengkah ....”

Menutup kupingnya, Rengkah beralih dari posisi duduk menjadi tidur dan langsung menutup mata. Persetan dengan kedua pria yang tengah mengiba. Ia tidak akan meladeni mereka.

Rengkah LengkaraWhere stories live. Discover now