[Keping 11] : Dilema

37K 2.9K 266
                                    

Note : Hallo....

Adakah yang menunggu cerita ini? Kalau iya*sokpede*, jangan kuciwa kalau slow update, ya? Entah kenapa, belakangan ini mood nulis saya sungguh tak baik. Bukannya enggak ada ide. Tapi....lagi males aja hahaha...

Oh iya. Dakuh juga mau ngucapin, selamat menunaikan ibadah puasa ya bagi yang menjalankan. Semoga puasanya lancar jaya....

===========================================================

Ia masih berdiri di depan pintu dengan perasaan tak teruraikan. Ada begitu banyak penyesalan, juga, kekhawatiran yang tak bisa menguap begitu saja. Matanya menangkap siluet tersebut dengan sorot yang kian meredup, seperti cahaya lilin yang dihantam embusan angin sebelum hujan deras melibas tanah-tanah pecah. Kini, ia sadar, begitu rapuh sosok yang masih menatap kosong ke luar jendela. Tanpa sadar, kepalan tangannya terayun ke depan. Pada sebuah dinding bercat putih yang membisu. Akan tetapi, menjadi saksi kekalutan hatinya.

Persetan bila tulang-tulang jarinya remuk. Ia tak mengacuhkan hal tersebut. Yang ia inginkan, betapa pelukannya bisa memberikan sebuah rasa nyaman, dan, sanggup menguasai kepercayaan yang ingin ia genggam dengan mudah. Tetapi, apa itu bisa menjadi kenyataan? Jika faktanya, yang wanita tersebut sisakan hanya rasa kecewa yang sudah melampaui batas.

Dadanya kembang kempis. Naik turun seperti baru saja mengendarai kendaraan beroda empat pada jalanan setapak yang berkelok, dimana, pemandangan di kanan dan kiri hanya didominasi oleh jurang-jurang curam dan terjal. Ia mengatupkan mata sejenak. Menetralisir desir darah yang mendidih saat mengingat kembali keputusan gila yang diambil oleh seorang Dheandra. Sahabat, dan orang yang sudah berhasil merenggut hampir seluruh rasa cinta yang ia miliki.

Ketika ia berhasil menguasai emosi, tangannya memutar grendel besi di hadapannya. Pelan sekali, ia mendorong pintu bercat cokelat tersebut–bermaksud tak ingin mengagetkan si Wanita yang masih larut dengan dunia khayalnya. Bau obat langsung menyeruak, memenuhi rongga hidung sehingga membuatnya merasakan sedikit mual. Ia tak lekas menghampiri Dee. Ia lebih memilih mengamati pujaan hatinya sembari menyandarkan tubuh pada dinding yang jaraknya hanya sejengkal dengan kusen pintu. Degup jantungnya berirama tak beraturan. Sulit sekali dikendalikan untuk berdetak normal–seperti biasanya.

"Dokter, memberikanku banyak wejangan," ucapnya memecah keheningan.

Berhasil

Wanita yang awalnya bergeming, kini menumpukan perhatian kepadanya. Mata berwarna hazel tersebut menyiratkan banyak sekali kepedihan yang membuat dadanya sesak. Wajahnya sedikit tirus, bibirnya pucat, tak ada rona merah seperti cherry yang ranum. Ia, benar-benar kehilangan banyak hal dari Dheandra.

"Bayi itu mungkin bisa bertahan. Tetapi, tidak menutup kemungkinan ia lahir tidak sempurna." Ia menelisik ke dalam mata Dee. Mencari-cari reaksi yang bisa saja menghujam hatinya lebih dalam lagi. Ia menemukannya. Hanya saja, hal tersebut tak menyurutkan keinginannya untuk terus bertutur. "Dokter bilang, obat yang kamu konsumsi, adalah jenis obat yang sering digunakan oleh pihak medis untuk merangsang kontraksi rahim, sehingga, terjadi pembukaan untuk jalan kelahiran bayi. Dan, itu berdampak buruk jika digunakan pada kehamilan di bawah usia 12 minggu." Ia menghela nafasnya sejenak. Diam-diam, menyembunyikan rasa sakit dan frustasi dengan mencengkeram telapak tangan dari balik saku celana yang ia kenakan.

Kepala Dee tertunduk dalam. Dalam keheningan yang hanya bermusik dentingan jarum jam, airmata wanita tersebut mengalir tanpa berusaha ditutup-tutupi. Rasa bersalah menyergapnya. Renza sadar, bukan hanya ia saja yang menjadi si Patah Hati dalam keputusan sepihak ini, Dee, juga merasakan hal yang sama. Apalagi, ketika beberapa jam lalu ia harus menghadapi penjelasan panjang lebar dokter tentang keadaan calon bayinya yang tak berdosa.

"Kelak, apapun yang terjadi dengan darah dagingku. Aku, tidak akan pernah mundur untuk memintamu mempertahankannya," ucapnya di tengah-tengah kebisuan.

Dee memainkan kuku-kuku jemarinya. Pikirannya menimbang beberapa hal yang ingin ia lontarkan menjadi pertanyaan agar bisa menjawab segala tanda tanya yang hanya berakhir di ujung lidah. Ia ragu. Tetapi, mau tidak mau, harus ia tanyakan kalau ingin membunuh rasa penasaran tanpa sisa.

"A–aku pernah gagal, Renza," ucapnya. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Tatapannya berkelit. Tak membiarkan bola mata Renza bersirobok dengannya.

"Lantas?"

"Aku–tidak ingin mengulanginya untuk yang kedua kali," berhenti sejenak untuk mengumpulkan segala kekuatan yang ia miliki, lalu, kembali melanjutkan kalimatnya, "juga, tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang baru kamu rajut bersama Mariska."

Dahi Renza berkerut. Ia berusaha mencerna ucapan Dee–ketika wanita di depannya membawa-bawa nama Mariska. Ia teringat sesuatu. Hal yang belakangan ini membuatnya kalut dan ketakutan setengah mati–ketakutannya akan kehilangan kepercayaan dari Dheandra.

"Soal–gambar yang kamu maksud–itu. Tidak seperti yang kamu bayangkan."

Dee menggigit bibir. Entah mengapa, jawaban Renza membuatnya merasakan lega yang luar biasa. Ia belum pernah merasakan perasaan aneh semacam ini ketika mendapati Renza tengah berusaha memberikan konfirmasi tentang relationship yang tengah dijalin bersama gadis-gadis tertentu. Terutama, Mariska. Wanita yang ia ketahui selalu mengisi relung hati sahabatnya itu selama sekian tahun.

"Aku tidak mempersalahkannya," kelitnya.

Renza tersenyum kecut. "Aku tahu," jawabnya singkat.Kemudian, ia berjalan ke arah jendela. ia berdiri membelakangi Dee. Sehingga, yang tampak di pelupuk mata wanita tersebut hanya punggung yang dibalut sebuah kaos berwarna hitam. Tatapan Dee beralih sekejap. Dari Renza, berganti menulusuri perutnya yang datar. Tanpa sadar, ia mengelus permukannya yang dilapisi sebuah kain bercorak bunga-bunga kecil. Entah, bunga apa itu.

"Kalau kamu keberatan dengan pernikahan yang aku kehendaki. Kita, bisa mengkaji ulang untuk membuat perjanjian yang tidak memberatkan masing-masing pihak."

Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Renza. Niatnya untuk menjelaskan tentang kebenaran fotonya bersama Mariska, hilang sudah. Toh, ia merasa, Dee sungguh-sungguh tak mempersalahkannya. Ia pikir. Wanita tersebut hanya menyinggung hal itu untuk alasan tertentu–agar bisa menjadikannya sebagai alat untuk menolak pernikahan yang ia tawarkan.

"Perjanjian?"

Dada Dee seperti baru saja ditonjok. Ia tak bodoh untuk bisa mencerna kemana arah pembicaraan Renza.Renza mengangguk.

"Kalau cinta tidak bisa kamu hadirkan dalam pernikahan itu. Aku memakluminya. Aku, juga tidak akan memaksamu lagi. Penolakanmu. Cukup dengan usaha kamu yang ingin melenyapkan apa yang membuat bagian dalam diriku ada bersamanya. Aku tidak ingin salah mengambil langkah. Dan menikahimu. Adalah caraku untuk melindungi anakku."

Tenggorokan Dee tercekat. Rasanya, seperti ada duri-duri mawar yang kini menancap di sana. Perih, sungguh tak terhindarkan. Ternyata, bukan hanya Bram yang menganggapnya sebagai seorang pembunuh. Meskipun secara eksplisit, ia tahu Renza juga melontarkan tuduhan serupa.

"Kalau–aku tidak mau?" suaranya bergetar.

Secepat kilat, tubuh Renza berbalik. Tatapannya terlihat tenang. Bahkan, suaranya tak menukik tinggi. Akan tetapi, hal tersebut berhasil mengintimidasi Dee. "Memangnya. Kamu bisa menjamin apa, Dee? Hari ini bisa selamat. Tetapi–bagaimana dengan esok?"

"Aku–bisa memastikan–"

"Aku tidak yakin!" tukas Renza cepat sebelum Dee berhasil menyelesaikan ucapannya. "Tanpa persetujuanmu, sekalipun. Pernikahan akan tetap ada."

"Kau tidak punya hak untuk memaksaku, Alfarenza!"

"Tetapi, aku punya hak untuk kehidupan anakku. Terserah. Aku tidak akan membatasimu. Tidak akan mengikatmu dalam pernikahan yang sesungguhnya, karena aku sadar kamu tidak pernah bisa memercayakan hatimu kepadaku. Setidaknya, kita bertahan sampai anak itu lahir, Dee. Please. Jangan egois."

Dee memejamkan kedua mata. Kenapa. Kenapa Renza menyimpulkan sesuatu tanpa mau bertanya dulu untuk membuktikan kebenarannya? Ia tahu. Penolakannya di masa lalu, adalah sebuah keputusan yang ia ambil ketika hatinya masih terikat pada satu nama. Tapi, tidak menutup kemungkinan, kalau kehadiran sebuah nyawa yang kini tengah menggeliat di dala perutnya, bisa saja memberikan celah pada pria yang masih berdiri membelakanginya, sedikit demi sedikit, mampu menggeser satu nama yang tak ingin ia patri mati.

Here, AfterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora