[Keping 17] : (masih) Tentang Cemburu

25.2K 1.8K 165
                                    

Siapa yang menduga kalau sekarang aku bisa jadi seakrab ini dengan Mariska. Perempuan jutek yang dari dulu tak pernah bisa akur denganku sebagai sahabatnya Renza, justru menerima kehadiranku dengan tangan terbuka saat keduanya sudah memiliki tujuan hidup masing-masing. Entah bagaimana prosesnya, yang aku ingat malam setelah Renza membawaku ke Sego Liwet, keesokan harinya Mariska menyapaku dengan seulas senyuman ceria di kantor baruku. Tak perlu ditanya siapa dalang yang membuat langkah wanita tersebut sampai ke hadapanku. Sudah pasti Renza pelakunya. Dan semenjak saat itu, kami sering jalan berdua. Sekadar untuk mengobrol ringan soal pekerjaan, atau curhat masalah hubungan Mariska dengan calon suaminya yang sering diwarnai selisih pendapat. Seperti hari ini misalnya, di mana aku kembali kedatangan tamu yang sama, tetapi dengan membawa serta misi terselubung yang langsung bisa aku tebak secara gamblang.

"Dijanjikan apa kamu sama Renza sampai rela meluangkan waktu berhargamu untuk menemuiku?" suaraku memecah keheningan diantara aku dan Mariska yang lebih memilih mengamati dekorasi ruangan kerjaku semenjak pertama kali menjejakkan kakinya di sini.

"Yang pasti sesuatu yang membuatku nggak perlu berpikir panjang untuk mengiyakan permintaannya buat ketemu sama kamu," jawab Mariska enteng disertai cengiran lebar.

Dasar kampret!

Aku menggeram marah. Sedangkan Mariska semakin menunjukkan ekspresi super menyebalkan yang seharusnya membuatku tak perlu berpikir panjang untuk langsung mendepaknya dari hadapanku. Tapi entah mengapa kuurungkan niat tersebut. Alih-alih mengusir secara tak terhormat wanita tersebut, aku malah bangkit dari posisi dudukku dan berjalan menuju kulkas mengambil minuman ringan untuk wanita yang matanya masih bergerak ke segala penjuru arah, menginspeksi ruangan kerja baruku yang belum banyak memanfaatkan perabot pecah belah.

"Penjelasan apa yang mau kamu sampaikan padaku, Nona sok baik hati?" bersamaan dengan pertanyaan sarkatis yang bergulir dari mulutku, aku meletakkan sebotol minuman ringan di atas meja—tepat di depan Mariska.

"Ya... soal penangkal jitu untuk meredam cemburu berlebihan dari calon pengantin mantan pacar aku."

Dobel kampret kali ini!

"Mariska!" seruku kesal. "Kualat kamu bikin wanita hamil marah-marah, tauk!" gerutuku yang hanya ditanggapi kekehan ringan ala Mariska.

Belakangan ini aku seperti tak mengenali diriku sendiri. Pemarah dan emosi yang meledak-ledak bukanlah kombinasi sifat bawaanku dari lahir. Tetapi semenjak ada nyawa baru di dalam perutku, aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang asing. Seseorang yang bahkan tak mampu aku kenali dengan baik padahal aku sendiri sebagai si pemegang kendali emosi tersebut.

"Oke... oke...," tukas Mariska cepat. Seolah-olah kalau ia terus menyerangku dengan kalimat-kalimat ringannya—menurut anggapan Mariska—maka bom emosi yang bersarang di dadaku akan meledak saat ini juga dan menghancurkan tubuh kami menjadi serpihan-serpihan kecil.

"Kamu masih mempermasalahkan pernyataan teman kamu perihal ciumannya dengan Renza setahun yang lalu?" tanya Mariska setelah meredam dehemannya beberapa kali.

"Sudah aku duga. Pasti dia yang menyuruh kamu datang ke sini buat ngasih penjelasan ke aku, kan?"

"Kalau itu yang menjadi alasan utama cemburu buta kamu ke Renza sampai-sampai mengabaikan persiapan pernikahan kalian, aku kasih tau satu fakta lagi, ya, Dee tentang kami yang bahkan nggak kehitung kalau cuma soal ciuman," tandas Mariska dengan nada suara tenang—tetapi sarat akan emosi yang tak coba ia sembunyikan saat mengkonfrontasiku.

Mulutku terkatup rapat untuk beberapa saat. Mataku dan sorot tajam Mariska saling beradu di udara. Ada sesuatu yang mencubit hatiku saat fakta yang sebenarnya bukan hal baru lagi tentang mereka kembali diungkit oleh wanita tersebut di depanku tanpa rasa canggung sedikitpun. Ada sensasi rasa sakit yang—lagi-lagi—tak aku kenali. Sebanyak aku menyangkal kalau keintiman yang semakin meningkat diantara aku dan Renza belakangan ini mampu menciptakan perasaan asing yang mengaliri ruang kosong penuh kekecewaan yang ditinggalkan kak Gastra, acap kali itulah harapanku untuk bisa bahagia dengan sahabatku tersebut tersemai subur.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 29, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Here, AfterWhere stories live. Discover now