Iya Sayang

270 17 3
                                    

Menuruti permintaan bapaknya kemarin, pagi ini Maliq sudah berada dirumah orangtuanya. Seperti biasa, ia selalu bersama motor kesayangannya. Saat masuk ke pelataran rumah, fokusnya tersita oleh sebuah motor Triumph Bonneville T120 yang sudah di custom sedemikian rupa. Motor itu tampak gagah, elegan, modern klasik. Benar-benar impian Maliq. Tangannya menyentuh setiap lekuk detail motor itu hingga pak Ronan yang sudah berdiri disampingnya pun belum ia sadari.

"Hei, kenapa nggak masuk?" pak Ronan menepuk pundak Maliq.

"Bentar dulu, pak, jangan ganggu" Maliq masih belum melepaskan mata dan tangannya dari motor itu.

"Punya siapa ini, pak?"

"Punya kamu"

Maliq langsung mengalihkan pandangannya pada Ronan, menatapnya tak percaya.

"Beneran, itu hadiah yang kemarin bapak bilang" ucap Ronan seolah mengerti bahwa anak laki-lakinya itu butuh diyakinkan. Spontan Maliq memeluk bapaknya. Mengucap terima kasih berkali-kali dengan mata yang berbinar.

"Pak, terima kasih! Terima kasih banyak, pak. Ini motor impian Maliq. Maliq nggak tau lagi harus bilang terima kasih dengan gaya apa, bahkan motornya udah bapak custom sesuai selera Maliq. Terima kasih, pak!" Maliq semakin mengeratkan pelukannya.

"Iya, Maliq, sama-sama. Ini pelukannya bisa dilonggarkan sedikit, nak? Setelah bapak membuang uang, masa bapak harus membuang nyawa juga?" canda Ronan sebab dekapan Maliq membuatnya kesulitan bernafas. Maliq melepas pelukannya.

"Ayo, masuk dulu. Ibu udah siapkan sarapan tuh" Maliq mengikuti langkah Ronan memasuki rumah dengan mata yang masih belum terlepas dari motor barunya.

Setelah sarapan, chitchat sedikit dengan bapak dan ibu, Maliq pamit pulang. Sudah tidak sabar ia menunggangi si klasik yang membuatnya tidak fokus menelan sarapan dan berbincang dengan orangtuanya.

"Pak, Bu, Maliq pamit sekarang deh" Maliq mencium tangan keduanya.

"Dijaga ya, nak, motor barunya. Mahal loh itu" ucap Ranti.

"Iyaa, bu. Tanpa ibu bilang juga bakal Maliq jaga sepenuh hati, jiwa, raga, ruh, nyawa Maliq"

Ronan melemparkan kunci motor baru yang disambut dengan sigap oleh Maliq.

"Motor yang lama tinggal disini aja, bro" ucap pak Ronan.

"Oke deh. Tapi jagain ya, bro. Cinta pertama gue itu" jawab Maliq.

"Iyaa. Bolehlah sekali-kali bapak pinjem buat jalan-jalan bareng ibumu"

"Pake mobil aja napa?"

"Pelit banget lu. Bapak juga mau kali pacaran keliling Jakarta naik motor"

"Bjirrr. Udah tuir juga masih mau pacaran"

"Anak monyet, ngatain orang tua"

"Hahahaa becanda, pak. Pake aja asal jangan lecet"

"Ck, IYE! Udeh balik sono!" usir pak Ronan pada putranya yang agak kurang ajar itu.

Maliq masih tertawa melihat raut bapaknya yang tertekuk. Yaa, jangan pikir hubungan ayah-anak tak sedarah selalunya buruk. Contoh baiknya ada pada keluarga Maliq. Mungkin karena ibu dan ayah tirinya menikah saat Maliq sudah dewasa, sudah mampu berpikir bahwa ia tak boleh egois membiarkan ibunya berjuang sendiri untuk membesarkannya. Meski punya pekerjaan memadai pun, Maliq sadar bahwa ibunya tetap seorang wanita yang perlu pendamping untuk terus menuntunnya berjalan. Maka sejak awal ia dekat dengan ayah tirinya.

Setelah bapaknya masuk kedalam rumah, Maliq mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi hijau dan menelpon satu nama yang ia sematkan berada paling atas.

-Soon to be Wife-

I'm Dedicated to YouOnde histórias criam vida. Descubra agora