5

40 1 0
                                    

Aku bahkan tak ingat untuk memesan angkot, pikiranku hanya dipenuhi satu tujuan, sampai ke rumah. Aku terus berlari, menderap menyusuri jalan setapak, tak sedikitpun kulambatkan langkah, begitu besarnya inginku untuk bicara dengan ayah, menunjukkan padanya jika aku berhasil, melayakkan diri hanya untuk sebatas bicara dengannya.

Pergelangan kakiku sudah mulai sakit, nafasku juga sudah mulai terasa berat, sepatuku juga sudah mulai robek termakan aspal, punggungku juga sudah terasa nyeri setelah membawa beban berat saat berlari.

Sejenak kuhentikan langkah, membungkuk seraya memegangi lutut, mencoba mengatur nafas kembali, mengingat rumahku sudah tidak jauh lagi. Merasa tas yang kusandang hanya menjadi beban, aku menanggalkan tas dan meletakkannya di tanah, kemudian kembali melanjutkan derapanku.

Apa yang kulakukan mungkin gila, secara tiba - tiba meninggalkan kelas dan nekat berlari menuju rumah, membiarkan tubuhku habis disengat panasnya mentari. Aku juga berpikir demikian, bukan tidak malu kulakukan semua ini.

Namun, perasaanku lebih kuat ketimbang pikiranku, seakan tidak ada lagi batasan yang dapat menghalangiku. Hanya datang ke rumah dan memberitahukan pencapaianku, dengan harapan ayahku akan bangga saat nanti mengambil raporku. Bisa dibilang, dititik ini begitu berharganya pengakuan dari ayahku.

Panas, penat, lelah dan sesak berhasil kutelan mentah - mentah, hingga akhirnya aku berhasil sampai dirumah. Tanpa salam tanpa sambutan, aku buka pintu rumah, dengan nafas tersenggal - senggal berusaha kupanggil ayah.

"A-AYAH! FITRI DAPET JUARA DUA! A-AYAH! NILAI FITRI TINGGI!"

Begitu keras aku berteriak, hingga suaraku menggema seisi rumah. Berkali kali aku berteriak, kulampiaskan semua lelahku pada teriakan berat, hingga suaraku parau akibat tenggorokan yang terlalu kering.

Aneh, berulang kali aku memekik, tak ada sambutan atau bahkan bentakan untuk merespon suaraku. Aneh, padahal ayah selalu terlihat kapanpun, entah saat aku berangkat sekolah ataupun setelah aku pulang sekolah. Namun kini, hanya TV yang dibiarkan menyala yang menyambut kepulanganku.

Begitu aneh kurasa, hingga memaksaku untuk menulusuri seisi rumah, terus kupaggili ayah sembari terus kumasuki setiap ruangan dirumah ini. Dapur, kamarnya bahkan kamar mandi sudah kuperiksa, namun tidak ada tanda - tanda kehadirannya.

Semangatku perlahan redup, aku terduduk lemas setelah mengetahui ayahku tidak ada di rumah. Tatapanku kosong, pikiran berusaha mencerna, mengapa semakin lama rumah ini semakin aneh saja.

Bertahun - tahun aku hidup dibesarkan ayah, bertahun - tahun pula tak sekalipun ia mengajakku bicara, pria misterius sesekali berkunjung tanpa kuketahui apa tujuannya. Lalu kini, disaat aku bertekad besar untuk memecah keheningan, ayah malah tidak ada dirumah.

Aku menanggalkan jilbab, lalu membenamkan wajahku ke dalam gulungan hijab putih, mencurahkan bingung, kesal dan frustasi lewat tangisan. Seluruh air mata ku tumpahkan, hingga perlahan mulai membasahi hijab ini, aku tertunduk perih, mengurung kepalaku dalam tirai rambut ikal, begitu jatuhnya aku dibuat rentetan kejadian yang kualami hingga kini.

"A-ayah pasti pulang. Fitri yakin ayah pasti pulang." gumamku.

Aku sudah tertelan hampa, hingga kalimat monolog singkat itu saja yang menjadi satu - satunya penguatku. Jika biasanya tangisan pecah karena kejadian begitu menyakitkan, beda halnya denganku, yang menangis saking bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.

Jual beli Manusia Where stories live. Discover now