8

39 1 0
                                    

Entah sudah pukul berapa sekarang, aku terlalu takut untuk turun dari kasur, bahkan sekedar melihat jam dinding saja tidak bisa. Pria yang menggagahiku sudah pergi, meninggalkanku meringkuk diatas kasur, memeluk diri setelah entah berapa kali tubuhku digagahi.

Semua perasaan menyatu setelah hubungan badan pertamaku, takut, sedih, kesal seakan mencengkram kepalaku, membuatku terisak pilu tertelan penyesalan. Aku hanya bisa mencengkram selimut, membasahinya dengan air mataku.

Salah dan benar sudah tidak bisa kubedakan lagi, aku tidak tahu apakah harus kubenarkan penyesalan ini. Apakah ini salah ayahku, yang menelantarkanku hingga aku menjadi pelacur dibawah asuhan Bunda Ririn? Apakah ini salah Bunda Ririn, yang membuatku merasa aman namun pada nyatanya dialah yang membuatku berakhir di kamar ini. Atau, ini salahku, yang serta merta menerima ajakan Bunda Ririn dan tidak mampu berbicara dengan ayahku?

Namun yang pasti, ditengah isakan tangisku, hanya satu yang menjadi penyesalan terbesarku. Aku, dengan tubuh tercelaku, sudah tidak punya kesempatan untuk menepati janjiku, pada Sasha dan Rena, semua sudah sirna, usahaku di sekolah sudah tiada guna, aku sudah berakhir menjadi pemuas nafsu dalam rentang hidup yang tersisa.

Disaat aku tengah menangis pilu, aku sampai tidak sadar seseorang memasuki kamar, seseorang menarik selimut yang membalut tubuh tak berbusanaku. Aku terperanjat, bangkit dengan cepat lalu membalut selimut erat, takut jika pria tadi kembali dan ingin menyetubuhiku lagi.

Ternyata aku salah, yang datang bukanlah pria itu, melainkan Bunda Ririn. "Fitri? Kamu kenapa nangis? Baru sekali dapat pelanggan," ujar Bunda Ririn.

Ingin sekali rasanya memaki Bunda Ririn, karena sudah menipuku, merawatku selama seminggu namun pada akhirnya dijadikan pelacur, sama seperti banyak wanita yang kulihat di sekitar rumah.

Namun entah kenapa lidah ini rasanya tertahan, tertahan kenyataan bahwa jika bukan karena Bunda Ririn, aku sudah dipaksa hidup sebatang kara, setelah ayahku pergi entah kemana. "F-Fitri takut! Fi-Fitri gakuat! Fitri mau pulang!" rontaku, menumpahkan semua sedih bercampur kesal dalam tangisan.

"Pulang kemana? Ke rumahmu? Setelah ayahmu menelantarkan kamu?"

"K-kemana aja! Asal jangan begini, Bunda! Fi-Fitri jijik!"

"Jijik? Padahal udah ketemu orang baik loh!"

"DIA BUKAN ORANG BAIK! DIA JAHAT! FITRI BAHKAN GA KENAL SIAPA DIA!"

Teriakanku terbalas tamparan keras dari tangan Bunda Ririn, wajahku sampai terpaling dari hadapannya. "Berani kamu teriak sama Bunda! Sadar diri kamu! Bisa apa kamu kalau gak ada Bunda!?" bentak Bunda Ririn.

Bibirku bergetar, tanganku tak berhenti mengelusi pipi merah yang terasa perih akibat tamparannya. "F-Fitri gak mau jadi perempuan murahan, Bunda! F-Fitri m-mau kuliah! A-apa gunanya Fitri dapet ranking dua di sekolah!? F-Fitri takut!" rintihku dihadapan Bunda Ririn yang menatap nanar.

Bunda Ririn menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu memegang pipiku, mengangkatnya hingga aku bisa memandang wajah Bunda Ririn. Tubuhku tak berhenti bergetar, begitu takutnya aku akan murka Bunda Ririn.

"Dengerin Bunda, lupakan semuanya, gausah mikirin kuliah, ranking kamu juga ga ada gunanya. Kamu udah besar, Fitri! Kamu harusnya tahu, hidup terlalu kejam untuk dijalani! Kamu beruntung ketemu Bunda, kamu harusnya berterima kasih sama Bunda, yang udah rela ngerawat kamu. Bayangin kalo Bunda gak dateng malam itu, mau jadi apa kamu? Mau kamu cari ayah yang udah nelantarin anaknya sendiri? Semua perempuan di rumah ini sama nasibnya kayak kamu, ditelantarkan, dilupakan bahkan hampir dibunuh orang tuanya sendiri. Hanya Bunda, satu - satunya orang yang mau menerima kalian. Itu cara Fitri bales kebaikan Bunda? Bentak - bentak Bunda?"

Perkataan Bunda Ririn ada benarnya, ia berhasil menyadarkanku, dinodai lelaki asing dan rela tak berbusana didepan mereka tidak terlalu buruk, ketimbang harus hidup sendirian setelah ditelantarkan. Bunda Ririn sudah memberikanku kehidupan baru, kesempatan kedua, tidak hanya untukku, tapi banyak perempuan lainnya, tidak sepantasnya aku membantah.

"Mulai detik ini, Bunda gak mau lagi denger kamu ngebentak Bunda. Bunda gak mau lihat kamu nangis setelah ngelayani tamu. Kamu-- nggak, kalian bisa hidup juga karena uang mereka, layani mereka sepenuh hati. Tua atau muda, jelek atau ganteng, besar atau kecil, jangan peduliin! Inget, mereka bayar mahal untuk make badan kalian. Paham?"

"I-iya Bunda, F-Fitri paham."

"Paham apa? Jawab yang jelas!"

"P-Paham, Bunda."

Jual beli Manusia Where stories live. Discover now