1: Petaka dalam Hadiah

39 3 29
                                    

"Mari merawat keduanya. Bukankah mereka terlihat mirip denganmu?"

Ditengadahkan sepasang burung kecil dalam belenggu kedua tangan besarnya hingga berjarak beberapa jengkal dari wajah Kamaat. Susah payah wanita itu menahan tawa kala tunduk menghadap kedua unggas tersebut. Sebab, ada-ada saja kejutan dari Saluki setiap harinya, dan semua objek yang dihadiahi selalu diakui sebagai caranya mengingat Kamaat.

"Haha. Mirip denganku?" Kamaat membelai bulu-bulu halus burung berwarna lebih gelap dari yang satunya. Di bagian mana yang mirip dengannya? Surainya pirang; matanya biru, kontras dengan visual burung itu. "Baru kali ini aku melihat burung jenis ini." Hidupnya hanya dihabiskan sekitaran pusat penduduk hilir sungai Nil. Itu sebabnya, ia jadikan Saluki sebagai jendela dunianya setiap lelaki itu kembali membawa buah tangan dari berkelana hingga Afrika Selatan.

Saluki menarik satu sudut bibirnya tipis, menyorot Kamaat dengan mata emas teduhnya. "Kau lebih menyukai yang satu itu?" tanyanya segera dijawab anggukan antusias oleh si Wanita. "Manusia biasanya cenderung menyukai hal-hal yang mirip dirinya sendiri. Dan burung yang kau sentuh itu si Betina."

"Ah, jadi kesamaan kami hanyalah jenis kelamin?"

"Tentu tidak. Ayolah, kemana kemampuan analisismu yang hebat itu?" goda Saluki melesak masuk perkandangan sekitar rumah mereka, memindahkan sepasang burung beserta sangkar jeraminya di sana.

Mendengar ejekannya, Kamaat memutar bola mata dan berdecak kesal. Nyaris ia mendebati Saluki sampai dilihatnya sebutir telur tersembunyi di sela apitan tubuh kedua burung kecil itu. "Oh! Mereka akan menjadi orang tua!" sorak Kamaat gemas, tersenyum sinis pada Saluki yang kini memeluk dan memainkan helaian rambutnya dari belakang. "Setidaknya kau tidak jadi membawakan kura-kura seperti katamu, aku akan besar dan lambat seperti kura-kura ketika sedang mengandung!" Disundulnya kepala lelaki pirang itu hingga meringis tanpa menyudahi gelak tawa, sembari menumpukkan wajah di pundak wanitanya.

"Kamaat, kau tahu apa yang spesial dari jenis burung ini? Mereka selalu menemani dan merawat pasangannya yang tengah hamil. Pejantannya tak akan pergi kemanapun meninggalkan pasangannya sendirian, setidaknya hingga betinanya melahirkan." Didekatinya telinga Kamaat hingga wanita itu bisa merasakan hembusan napas hangatnya, lalu berbisik, "itu sebabnya, tanpa basa-basi, aku segera kembali setelah mendengar kabar baik itu."

"Pied Flycatcher," desis wanita itu membidik dengan senapan pada beberapa pasang burung dalam kandang kawat. Ingatan masa lalunya mencuat ketika dilihatnya jenis burung itu bertebaran di tempat tinggal targetnya. Dalam hitungan detik, riuh tembakan serta dentingan peluru di lantai menggelora seisi ruangan, dan genangan warna merah bertekstur bulu-bulu halus menjadi hasil seni abstraksinya.

Dulu, ketika masih bodoh, ia dipengaruhi Saluki untuk menganggap jenis burung itu sebagai lambang loyalitas, layaknya perlakuan Saluki pada Kamaat dan calon bayi mereka. Padahal tidak. Serupa dengan para Pied Flycatcher, lelaki itu gemar berkelana mencari sangkar-sangkar baru di luar sana, kemudian menetap hingga sang Betina berhasil mengandung dan melahirkan keturunannya. Barulah setelah itu, ia kembali berkelana dan mengulang siklusnya.

Saluki selalu dengan sengaja membungkus semua petakanya dalam bentuk hadiah. Ia mengaku setia karena kecurangannya baru terendus hidung Kamaat di waktu tak lama sebelum menghabisi nyawa wanita tersebut.

"Tidak penting seberapa banyak wanita di luar sana yang ku jadikan media pencetak anak, Kamaat. Pada akhirnya, kamu yang pertama dan utama." Mengingat pembelaan klise Saluki membuat darah Kamaat mendidih, terpecut emosi, dan kembali dikendalikan amarah.

Masih berkubang darah para unggas, diedarkan pandangannya pada sekeliling rumah megah yang konon katanya hanya dihuni seorang putra tunggal. Omong kosong, tidak ada kesetiaan di garis keturunan Saluki. Anak itu, bukanlah seorang tunggal, batin Kamaat mencibir. Langkahnya berpacu menaiki tangga, genggamannya mengerat pada senapan putih keemasan berukir kumbang scarab di permukaannya, destinasinya ialah Bayu Windhund yang mungkin kini sedang termenung memproses serba-serbi kekacauan di lobi menuju kamar Ayahnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GREED: Saluki Where stories live. Discover now