P1

30.3K 71 1
                                    


"Kau calon utama, tapi kalau kau tidak mau, aku siap mengggunakan Croy."

"Jangan kau pikir, aku sangatlah butuh bantuanmu, Gross. Kau harus tahu."

"Sialan kau, Gress!"

Sejak setengah jam lalu hanya berdiam diri dan membungkam mulutnya atas semua ancaman diutarakan oleh kakak sulungnya, kini amarah bergejolak.

Umpatan kasar saja, bahkan rasanya tak akan cukup jadi pelampiasan emosinya. Ia butuh sesuatu untuk dihajarnya.

Yang paling mungkin disasar tentu saja adalah Gress Hanks. Apalagi, setelah setengah jam, didapatkan provokasi.

Jika beberapa menit lagi terjadi, maka akan dapat menambah rekor baru dari perkelahian di antara mereka.

Sejak remaja, dirinya dan Gress sudah sering beda pendapat. Saling bersikap egois demi mempertahankan pilihan masing-masing guna terwujud.

Bahkan, sering berbenturan, sehingga tak segan menggunakan kekerasan agar terhindar dari kekalahan ego.

"Kau mau membunuhku? Lakukanlah, aku sudah siapkan pistol baru."

Bukan balasan seperti ini yang Gross ingin dengar atas umpatannya tadi, tapi entah mengapa tawaran dari Gress bisa amat terdengar menarik baginya.

"Kau belum pantas aku bunuh."

"Kalau aku mati, bebanmu malah akan bertambah. Satu saja tidak mau kau penuhi, apalagi yang lainnya."

Gross semakin panas, sudah pasti.

Gress pun masih dalam mode masih kesal, maka akan sulit membuatnya untuk bisa berhenti bicara begitu saja.

Kesepakatan belum terlaksana. Gross tak menerima perintahnya. Itulah yang menjadi permasalahan paling pelik.

Gress akan terus mengancam. Ia harus merealisasikan rencana utamanya, tak akan menggunakan misi cadangan.

"Sial, Gross. Kau harus berpikir seperti mafia, bukan seorang pendeta kolot."

"Kau tidak akan terkena hukuman jika kau pikir menghamili Yoashia adalah asusila yang sangat bajingan."

"Berapa kali aku harus menidurinya sampai dia bisa mengandung?"

Setelah puluhan kali berusaha untuk memprovokasi kesabaran sang adik, akhirnya jawaban yang sejak tadi ingin didengar, bisa dikeluarkan Gross juga.

Reaksi pertama Gress tentu saja tawa kencang sarat kepuasaan. Lalu, dengan cepat berganti dengan decakan sinis.

"Aku butuh dua kali menabur benihku untuk bisa menjadi calon bayi."

"Itu pun tidak jadi lahir ke dunia karena aku mengalami penghianatan."

Gross mendengar nada bicara saudara sulungnya meninggi. Tandakan bahwa emosi Gress kembali bergejolak.

Ya tentu berhubungan akan masa lalu. Ia tahu benar bagaimana historis yang ada di baliknya. Tapi, enggan diungkit.

"Aku akan mencoba."

"Kau harus membuatnya berhasil. Aku tidak mau menerima kegagalan."

Gress memberi titah dengan amat serius dan sudah pasti tidak akan bisa dirinya tentang, walau masih begitu keberatan.

"Nyawamu menjadi taruhan, Gross."

"Aku membiark?;
an kau hidup dengan fasilitas mewah selama ini karena kau masih bagian dari keluarga Hanks."

"Kau harus tahu apa tugasmu."

"Tidak ada yang gratis di dunia ini. Kau harus membayar dengan setimpal."

"Aku tahu." Gross menekankan setiap kata dengan emosi membara.

Memang, bukan yang pertama kalinya kalimat-kalimat sarkasme saudaranya. Dibilang kebal pun tidak sama sekali.

Setiap menghadapi sikap kasar saudara sulungnya, tak akan bisa diberlakukan rasa acuh tidak acuh. Apalagi, jika Gress sudah berkata-kata yang menusuk.

"Aku beri kau waktu dua bulan."

"Kalau kau gagal, kau siap menerima konsekuensi paling besar. Termasuk, kau harus meninggalkan keluarga."

"Aku tidak bisa."

"Aku ikut andil membesarkan bisnis keluarga Hanks. Aku tidak akan mau pergi begitu saja dengan tangan kosong, setelah jerih payahku selama ini."

"Ckck. Kau sangat perhitungan, Gross."

"Baiklah, baik, kau tidak akan pergi dari keluarga Hanks. Kau bahkan bisa jadi pemimpin utama, asalkan kau dapat memberi penerus baru Hanks, Adikku."

"Aku akan menghamili, Yoa." Gross pun bicara penuh ketegasan, walau di dalam hati merasakan kebimbangan.

Tak mudah dilakukannya, apalagi saat berurusan dengan anak angkatnya.

Sleep With My Daddy [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang