{ Paralel Politik }

37 6 1
                                    

Kamera yang tergeletak di atas meja, mulai dimasukkannya ke dalam tas. Mengambil kartu pers yang menggantung di lampu meja. Ia segera mengenakan sepatu, pergi bergegas untuk bekerja sebagai seorang jurnalis. Sebelumnya Tama mendapatkan panggilan untuk mewawancarai calon walikota Surabaya yang akan menyelenggarakan kampanye.

Waktu di jam tangan sudah menunjukkan pukul delapan pagi, ia segera bergegas karena wawancara akan dilakukan pada pukul sepuluh pagi. Dua jam lagi, tetapi untuk menyandang profesionalitas, Tama harus sampai di sana terlebih dahulu.

Pertemuan akan dilakukan di sebuah aula Arif Rahman Hakim, Surabaya. Tak boleh melewati waktu yang tersebut, Tama menuruni tangga kamar kos, pergi ke tempat parkir. Menyalakan sepeda motor, melaju di jalanan sempit menuju jalan raya.

Jalanan dipenuhi oleh kendaraan. Mobil-mobil berhenti bersama dengan truk-truk yang turut melintas. Dengan kemampuan, Tama dalam mengendarai sepeda,

Tibalah Tama di gedung aula Arif Rahman Hakim, tempat yang menjadi area kampanye calon walikota. Padatnya kendaraan yang memenuhi pintu masuk, membuat Tama tak sabaran. Waktu di jam telah menunjukkan pukul sembilan tepat. Perjalanan yang memakan waktu satu jam dari kos tempat ia tinggal ditambah dengan kemacetan jam kerja. Hingga tibalah Tama kini mulai memasuki area parkir sepeda motor.

Tama merapihkan rambut, membenahi blazer warna biru yang dikenakan olehnya. Menarik napas dalam-dalam, degup jantung berdetak. Kaki mulai gemetar tak karuan. Namun, ini perkerjaan yang harus dikerjakan. Sudah berpuluh orang-orang penting ditemuinya. Rasa gugup itu tetap saja tak pernah sirna.

Waktunya menggali informasi lagi, pikirnya. Ia melangkah memasuki hall aula yang luas, beratus-ratus bangku telah dipenuhi lautan manusia, mereka yang tak dapat hanya mampu berdiri sembari menatap sosok yang selalu memberikan janji-janji jika terpilih.

Melirik jam di tangan, sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit. Kurang empat puluh lima menit lagi sebelum kampanye berakhir.

Sorak-sorak memenuhi aula itu dengan menyerukan merdeka. Bulu kuduk Tama tetap saja berdiri, seandainya apa yang diserukan itu benar terjadi.

Kampanya telah berakhir, kini menunggu giliran bersama wartawan lain untuk wawancara secara eksklusif. Untungnya Tama mendapat antrian nomor tiga. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk melakukan wawancara. Entah mengapa yang satu ini seperti pembukaan gala premier film.

Nama Tama kini dipanggil, ia memasuki ruangan yang sudah diisi oleh calon walikota. Saat menatap wajahnya, Tama merasa ada yang ganjil. Wajah sang calon itu entah bagaimana sama dengannya. Tama mengucek mata, memastikan kalau ia salah melihat. Namun, ternyata memang calon walikota yang duduk adalah dirinya.

Seorang pria dengan rambut tertata dengan rapih. Mengenakan pakaian batik berwarna coklat.

"Kenapa masih di sana? Duduklah, waktuku terbatas di sini," calon itu meminta Tama untuk duduk.

Tama mengambil tempat duduk, ia segera membuka lembar catatan dan meletakkan alat perekam suara. Saat membuka lembaran kertas, matanya tertuju pada nama calon walikota yang ada di hadapannya saat ini. "Tama Tirta". Nama itu sama dengan milik Sang Jurnalis.

"Menjadi jurnalis ya? Tak kusangka kamu menjadi jurnalis. Mengapa?" Tama calon walikota itu bertanya terlebih dahulu sebelum Tama jurnalis memberikan pertanyaan.

"Begitu juga dengan pertanyaan saya, kenapa anda menjadi walikota?" Kini Tama jurnalis membalas dengan pertanyaan. "Sebelum anda jawab, saya bisa memberikan alasan kalau saya ingin melakukan gerakan perubahan, tulisan adalah senjata yang paling ampuh. Mengkritisi pemerintah, memberikan informasi pada publik. Dengan begitu sudah cukup dengan jawabannya?" Tama menyukai perkerjaan menjadi seorang jurnalistik. Sesuai dengan latar belakangnya seorang lulusan Sastra Indonesia. Itulah yang membuatnya semakin bertahan hingga saat ini.

Tama calon walikota itu mengedikkan bahu. "Meski sama-sama lulusan Sastra Indonesia rupanya jalur kita berbeda. Menjadi walikota itu bukan keinginanku sebenarnya. Aku hanya ingin melakukan perubahan agar rakyat damai."

"Apakah itu berhasil?" Tama jurnalis bertanya.

"Banyak problematika dan politik yang rumit di balik layar. Aku tidak bisa melakukan semua sembarangan. Kadang ada kepentingan partai untuk melakukan tindakan, bagaimana denganmu?"

"Sedang berusaha, publik ingin transparansi dan ingin mengkritisi pemerintah. Namun, dengan munculnya media yang entah kebenarannya masih diragukan beredar itu sudah membuat publik sedikit tidak percaya dengan media berita."

"Keraguan terhadap media berita?" tanya Tama calon walikota. "Lantas bagaimana denganku? Rakyat tak mau percaya lagi, padahal aku sudah melakukan semampuku untuk menolong dan membantu mereka. Itu karena pemimpin sebelumnya yang membuat masyarakat tak mau percaya dengan pemerintahan."

Tama jurnalis tersenyum. "Memang sulit kalau sudah begini. Niatnya ingin berbuat baik, tapi susah untuk menyadarkan mereka." Tama pun menutup buku catatannya. Rasanya dialog kali ini cukup membuahkan hasil hanya untuk seorang. "Satu pertanyaan lagi, apa yang anda lakukan saat pemilu? Ambisi ingin menjadi penguasa yang melayani masyarakat atau bagaimana?"

"Kadang kita perlu menggunakan tangan kotor untuk melakukan kebaikkan." Tama calon walikota menutup mata. "Bukankah itu lebih baik kan? Setiap orang punya caranya sendiri untuk menjauhkan dari bahaya. Aku melakukan itu karena aku mencintai rakyatku."

Tama jurnalis tak berkutik, ia bangkit dari tempat duduknya. Pertanyaan penutup yang selalu membuatnya bertanya-tanya. Ia keluar dari ruangan, melangkah menuju tempat parkir sepeda.

Kita punya cara sendiri, jalurku dan jalurku yang lain tidak semuanya berjalan mulus, banyak hambatan yang justru menjadikannya itu tantangan. Diriku ini menggunakan cara kotor untuk menjauhkan bahaya, diriku ini menggunakan cara ampuh melawan ketidakbenaran. Tama menatap langit yang ditutupi oleh awan kelabu.

Cara sendiri dengan berbagai tujuan. Apakah itu benar? Waktunya kembali berkerja dengan pekerjaan yang dicintainya....

Paralel KeinginanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang