Chapter 1. Hellven

23 4 0
                                    

Distrik Hellven merupakan salah satu distrik utama yang ada di wilayah Summertown. Bagi penghuni distrik lain, Hellven merupakan distrik impian yang bahkan sanggup mereka tukar dengan apa pun untuk bisa tinggal di sana. Sesuai dengan namanya, Hellven; perpaduan dari Hell dan Heaven. Semua hal putih dan gelap bisa mereka temui di sana.

Seperti saat ini, di dalam Cafe Oddinary yang letaknya tidak jauh dari gerbang pintu masuk distrik sedang kedatangan seorang pengunjung berpakaian kumuh yang menanti pesanannya. Sebenarnya, bukan itu poin utamanya. Melainkan sekarung emas yang teronggok di meja bar.

"Maaf kalau aku harus meletakkan karung ini di sini," ucapnya canggung pada Sky yang sedang menuang air panas perlahan di atas alat drip untuk kopi tetes yang dipesannya.

Sky melirik sedikit ke karung itu. "Tentu saja, kau tidak mungkin menaruh barang berhargamu di lantai, kan?" ucapnya. "Tapi... buat apa emas-emas itu?"

Pengunjung tadi menatap heran pada Sky. Ia merasa tidak pernah mengatakan isi karungnya, tapi kenapa orang lain bisa tahu isinya? Dengan panik, ia mengecek tiap sisi karungnya; apakah mungkin ada yang sobek?

"Tenanglah, karungmu baik-baik saja. Orang lain tidak akan melihatnya," kata Sky lagi.

"Tapi... kenapa kau bisa tahu?" Secara naluri, orang itu mendekap karungnya erat.

Sky menyeringai, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Bahkan, dalam usahanya untuk membuat wajahnya terlihat menyeramkan, Sky tetap saja terlihat sangat rupawan. "Anggap saja mataku sangat tajam, dan aku tidak akan mengambilnya."

"Ah, kau benar. Maafkan aku." Pengunjung itu akhirnya kembali bersikap santai, tanpa menaruh curiga pada Sky.

"Silakan, kau bisa mengambil gula di toples itu kalau kurang manis." Sky meletakkan secangkir kopi hitam yang aromanya memenuhi ruangan.

Sedikit gemetar, tangan pengunjung itu mengambil cangkir yang terbuat dari keramik putih dan menyesapnya perlahan. Sementara Sky masih terus memperhatikan orang itu, kali ini dengan kedua lengan yang menumpu di atas meja.

"Kau harus berhati-hati, banyak penjahat di distrik ini. Kau tidak takut berkeliaran di jalan dengan emas sekarung?" Sky kembali membahas hal itu. Sudut matanya kini menangkap sedikit bercak darah yang telah mengering di ujung lengan pengunjung.

"Setelah ini aku akan segera pulang," ujar pengunjung itu dengan menggeser kursinya untuk sedikit menjauh dari Sky.

Sky mengangguk-angguk. "Ke tempat distrik asalmu?"

Satu tepukan lembut di bahu membuat Sky menegakkan badan. Kepalanya sedikit menoleh, lalu keduanya saling memberi tanda dengan gerakan mata.

"Wah! Kau berasal dari luar distrik Hellven? Bukankah ini sudah terlalu larut untuk kembali ke distrikmu?" Rigel yang baru saja menepuk bahu Sky mengambil alih percakapan ini. Rambut wolfcut panjang yang baru saja diwarnai merah menyala tampak menarik perhatian.

"Ah, tidak. Aku baru saja pindah ke sini, distrik Hellven. Jadi, aku akan pulang ke rumah baruku di sini."

Rigel dan Sky saling pandang.

"Ah! Kau warga baru di Hellven? Maafkan kami, seharusnya kau bilang lebih awal agar kami tidak khawatir." Rigel kembali mengubah ekspresi wajahnya dengan cepat, sampai pengunjung itu tidak menyadari perubahannya.

"Hahah, maaf karena membuat kalian khawatir," ucap pengunjung itu sambil merogoh lembaran yad di kantong celana untuk membayar kopinya. "Kembaliannya kalian simpan saja, aku pergi dulu. Terima kasih kopinya, enak sekali!"

Sky menerima dua lembar yad yang seharusnya bisa untuk membeli lima cangkir kopi. "Hei, ini terlalu banyak," ujarnya sambil menyodorkan kembali satu lembar yad.

"Terima saja, anggap sebagai salam perkenalan dariku. Aku pergi."

Pengunjung itu memanggul karung emasnya lagi, dan melangkah cepat ke arah pintu. Saat ia keluar, Orion, Leo, dan Hunter berpapasan dengannya.

"Dia baru merampok dari mana?" gumam Hunter, masih dengan kepalanya yang menoleh pada pria itu sampai siluetnya menghilang di kegelapan.

"Pembantaian, pengorbanan, tumbal." Suara Neil terdengar berat dari ujung ruangan. Dari tadi, ia duduk di sana sambil memperhatikan pria berpakaian kumuh. Kedua kakinya terangkat ke atas meja, dengan kedua tangan menyangga kepalanya di belakang.

"Kakimu mau kupotong?" desis Leo dengan tatapan tajamnya pada kedua kaki Neil.

"Dasar kelinci setan yang tidak berperasaan!" Meskipun begitu, Neil segera menarik kedua kakinya untuk menjejak di lantai.

"Apa maksudmu tadi?" tanya Orion.

Neil menyeringai. Badannya menegak sebelum ia berdiri dan melangkah menuju rekannya yang berkumpul di meja bar. "Kalian sungguh tidak bisa menebaknya? Ayolah! Kita sudah ratusan tahun di bidang pekerjaan ini. Coba pikir, dari mana dia mendapat emas sebanyak itu?"

Rigel menunjuk wajah Neil sambil menyeringai lebar. "Ada gunanya kau seharian ini tidak keluar kamar. Otakmu sedikit lebih berfungsi."

"Tentu saja, hanya kau yang tidak pernah menggunakan otakmu di sini," sahut Neil.

Rigel menyipitkan matanya. "Aku hanya perlu menggunakan ketampananku."

Orion dan Leo saling menghela napas. Berbeda dengan Sky dan Hunter yang selalu menjadi penonton setia perdebatan sengit itu.

"Aku melihat bercak darah di lengannya," kata Sky.

Neil menunjuk Sky. "Sudah kubilang, kan? Pembantaian, pengorbanan, tumbal. Aku tidak tahu mana yang pasti dari tiga kata itu, tapi yang jelas dia telah melakukan salah satunya."

Leo menatap Neil. "Dan tebakanmu?"

Mata Neil mengilat, menampilan warna kehijauan yang tampak samar di manik hitamnya. "Tumbal."

***

Archer melompat dari atap rumah bertingkat tiga yang lampunya telah redup dari beberapa jam yang lalu. Di belakangnya, Nash mengikuti Archer dengan lompatan yang lebih mulus. Mereka menyusuri jalan setapak menuju ke pintu gerbang, seakan tidak takut tertangkap oleh mata manusia maupun CCTV yang dipasang oleh pemilik rumah.

"Kerja bagus, Nash. Kau memang luar biasa seperti biasanya." Archer menepuk-nepuk pundak Nash yang semakin hari, terasa semakin lebar. Bahkan, tonjolan ototnya tidak main-main.

"Kau benar. Setiap hari aku memang semakin luar biasa," ujar Nash.

Archer tertawa, lalu menunjukkan sehelai mirip benang yang berpendar keperakan. "Aku menemukan hal yang bagus saat kita masuk ke alam mimpi gadis itu."

Nash mengeleng-gelengkan kepalanya. "Lagi-lagi kau mengambil memori indah milik manusia? Orion akan marah kalau kau terus melakukannya."

"Anggap saja ini souvenir. Lagipula, kita sudah menyelamatkan nyawanya. Dia pasti tidak akan keberatan kalau aku mengambil sedikit kenangan indahnya."

"Apa yang kau ambil itu?" tanya Nash yang akhirnya penasaran.

Archer tersenyum sambil terus memperhatikan pendar memori yang melayang di atas telapaknya. "Kenangan saat dia mendapatkan surat cinta dari laki-laki yang selama ini dia suka."

"Hei! Itu kenangan yang seharusnya tidak boleh kau ambil," protes Nash.

Jari telunjuk Archer bergerak ke kanan dan ke kiri. "Dia justru akan berterima kasih padaku karena aku menghilangkan memori indah ini."

Kening Ash mengerut, membuat wajahnya terlihat mematikan, berbanding dengan saat ia tersenyum lebar. "Kenapa?"

Archer tidak langsung menjawab. Ia menggiring pendar memori itu ke dalam tabung kaca kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. "Karena laki-laki itu pada akhirnya menyakitinya. Kehilangan memori ini akan membantunya untuk sepenuhnya melupakan laki-laki itu."

Oddinary CafeWhere stories live. Discover now